Menghina adalah Hutang

Hasil gambar untuk bunga alam            Siapa yang berhutang, dia harus membayarnya. Begitu hukumnya. Hutang di dalam Islam adalah perkara yang sangat diperhatikan. Bahkan ayat terpanjang di dalam Al Qur’an adalah ayat yang berkenaan dengan hutang piutang, yang terdapat di dalam surat Al Baqoroh ayat 282. Di dalamnya ada keterangan tentang aturan dan adab dalam hutang piutang.



            Namun dalam catatan ini, hutang yang dimaksud bukanlah hutang dalam bentuk uang ataupun materi. Akan tetapi hutang yang mungkin agak terdengar asing. Apakah itu? Hutang tersebut adalah menghina (sukhriyyah). Ya, menghina adalah hutang yang juga dikenakan atasnya kewajiban untuk melunasinya. Bagaimana itu bisa terjadi?

            Di beberapa riwayat yang shahih dikatakan:
قال عبد الله بن مسعود رضي الله عنه : ( لو سخرت من كلب لخشيت أن يجعلني الله كلبا.Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seandainya aku menghina seekor anjing, maka aku takut kalau Allah taa’ala menjadikanku seekor anjing”.[1]

وقال أبو موسى الأشعري: (لو رأيت رجلًا يرضع شاة في الطريق فسخرت منه، خفت أن لا أموت حتى أرضعهاAbu Musa Al Asy’ari berkata, “Seandainya aku melihat seorang laki-laki menyusui seekor kambing betina di jalan, lalu aku menghinanya, maka aku takut kelak aku akan menjadi sepertinya sebelum aku mati”. [2]

وقال إبراهيم النخعي: (إني لأرى الشيء أكرهه؛ فما يمنعني أن أتكلم فيه إلا مخافة أن أبتلى بمثلهIbrahim An Nakh’I berkata, “Sesungguhnya ketika aku melihat hal yang kubenci, tidak ada yang menghalangiku untuk membicarakannya kecuali karena aku takut akan diuji oleh Allah taala dengan hal serupa”.[3]

            Demikianlah hutang itu berlaku. Saat lisan dan perbuatan kita menghina orang lain, dia akan terikat suatu hutang, yang harus dilunasi dengan ujian yang serupa. Na’udzubillah min dzalik.


Gambar terkait

:: Dia Berbuat Maksiat ::

            Berhati-hatilah saat kita menjumpai salah seorang saudara kita, teman, ataupun masyarakat yang berbuat maksiat. Terkadang kita tidak sadar bahwa kita telah mengucapkan kalimat-kalimat yang menghinanya, dengan berkomentar, “Ah, bodoh banget ini orang. Masa gitu aja dilakuin?”, “Dasar orang jaman sekarang, sukanya begini dan begitu”, menertawakan, memandang sebelah mata, dan seterusnya. Semua kalimat dan perbuatan itu bisa masuk ke dalam sukhriyah.

            Untuk itu kita harus menjaga lisan dan perbuatan kita dari sukhriyah, dengan beberapa cara sebagai berikut:

1.      Kita tidak tahu siapa di antara kita yang lebih baik di sisi Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki mencela kumpulan yang lain, boleh jadi yang dicela itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan mencela kumpulan lainnya, boleh jadi yang dicela itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS. Al Hujuraat :11).

2.      Kita tidak tahu bagaimana akhir dari kehidupan kita sendiri dan pula orang lain. Prilaku yang baik hari ini, belum tentu di akhirnya nanti. Demikian pula prilaku buruk hari ini, belum tentu di akhirnya nanti.

3.      Ingatlah bahwa kita tidak bisa menjauhi kemaksiatan kecuali karena hidayah dari Allah taa’ala. Dengan kata lain, jika bukan karena hidayah Allah ta’ala bisa jadi kita melakukan kemaksiatan yang sama. Allah ta’ala berfirman: …..maka kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya atasmu, niscaya kamu tergolong orang-orang yang rugi.” (QS. Al Baqoroh: 64).

4.      Kita harus menyadari bahwa yang kita hina bukanlah sekedar objek yang kita hina, melainkan Allah taa’ala yang telah menciptakannya.

5.      Orang yang menghina berarti telah menganggap bahwa dirinya lebih baik dan  suci dari yang dihina. Ini adalah ujub, suatu penyakit yang sangat berbahaya, Allah ta’ala melarangnya, maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An Najm: 32)

6.      Hendaknya kita hiasi lisan kita dengan do’a dan dzikir. Di antaranya seperti kalimat na’udzubillahi min dzalik (kami berlindung kepada Allah taala dari hal itu), wal’iyadzubillah (hanya Allah taala lah dan dapat melindungi kita), dan lain sebagainya. Dan do’a yang sangat dianjurkan untuk dibaca adalah sebagai berikut:

عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ الله عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “مَنْ رَأَى صَاحِبَ بَلَاءٍ فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي عَافَانِي مِمَّا ابْتَلَاكَ بِهِ وَفَضَّلَنِي عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيلًا إِلَّا عُوفِيَ مِنْ ذَلِكَ الْبَلَاءِ كَائِنًا مَا كَانَ مَا عَاشَ”

Dari Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang melihat orang lain yang tertimpa musibah hendaknya ia berdoa:

الحمد لله الذي عافاني مما ابتلاك به و فضلني على كثير ممن خلق تفضيلا
“Alhamdulillahilladzi ‘Aafaanii mimaa ibtalaaka bihi wa faddhalani ‘alaa katsirin mimman khalaqa tafdhila”
Maka ia akan diselamatkan dari musibah tersebut, musibah apapun selama ia hidup. [4]

Demikianlah perkara hutang yang tidak bisa kita remehkan. Ingatlah kejadian dan keterpurukan yang pernah menimpa kita, coba koreksi, bisa jadi salah satunya karena kita pernah menghina orang lain. Semoga kita semua dijauhkan dari hal-hal yang mengotori lisan dan perbuatan kita dari menghina dan merendahkan orang lain. Amin.

-----------------------------------------------------------
Diskembangkan dari Twiter  Syaikh Khalid bin Abdillah Al Mushlih –hafizhahullah taa’ala-  bertajuk, “As Sukhriyatu Dainun” (Menghina adalah hutang).
Penyusun: Achmad Tito Rusady.


Foot Note: 

[1]  رواه ابن أبي شيبة في المصنف في كتاب الأدب 6 / 115 من طريق أبي معاوية عن الأعمش عن إبراهيم عن عبد الله به ومراسيل إبراهيم عن عبد الله بن مسعود صحاح. 
[2]  مصنف ابن أبي شيبة 6 / 115 .
[3]  إبراهيم بن عبد الله الدويش : دروس للشيخ إبراهيم الدويش، : دروس صوتية قام بتفريغها موقع الشبكة الإسلامية.  http://www.islamweb.net
[4] Dihasankan oleh syaikh Al-Albani dalam shahih Ibnu Majah no. 3892

Komentar