Kisah Abdullah Bani’mah yang Menggetarkan Jiwa


Adalah Abdullah bin Umar bin Abdullah Bani’mah. Kun-yah (panggilan) Abu Jinan, dilahirkan di Makkah Al-Mukarramah pada 14 Rabi’ul Awwal 1394/12 Agustus 1974 M. Dalam catatan ini penulis mengulas cerita atau lebih tepatnya mengutip beberapa penggalan kisah dalam buku ‘Saat Hidayah Menyapa’ yang disusun oleh Ustadz Fariq Gasim Anuz, dalam rangka menasehati dalam kesabaran dan kebenaran.

Hikmah terbesar dalam kisah ini adalah tentang bagaimana mensyukuri keberadaan orang tua. Abdullah Bani’mah mengalami beragam peristiwa yang membuatnya sadar dari kenakalannya selama ini. Ia dibesarkan dalam keluarga muslim yang taat. Namun ketika menginjak usia remaja Abdullah Bani’mah larut dalam pergaulan rekan-rekannya di sekolah, ia mulai mengenal rokok yang hal itu adalah sesuatu yang paling dibenci ayahnya. Hingga suatu saat perbuatan Abdullah Bani’mah diketahui oleh ayahnya. Ketika ayahnya menanyakan hal itu, Abdullah Bani’mah berkata dusta yang disertakan dengan sumpah, padahal ayahnya yakin akan perbuatan anaknya. 

“Ketika aku berkata padanya, “Demi Allah aku tidak merokok”, dan aku mengangkat suaraku di hadapannya, jadilah suaraku itu lebih tinggi dari suaranya, padahal dia sangat yakin bahwa aku merokok. Lepaslah do’a dari ayahku, maka ia berkata, “Jika kamu berdusta, semoga Allah mematahkan lehermu”.

ثلاثة دعوات مستحابات لاشك فيهنّ دعوة المظلوم و دعوة المسافر و دعوة الوالد على ولده

“Ada tiga do’a yang mustajab tidak ada keraguan padanya, do’a orang yang dizalimi, do’a musafir dan do’a orang tua kepada anaknya” [HR. Ahmad, Bukhari dalam Al-Adab al-Mufrad, Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits Hasan dalam kitab Shahih Al-Jami’ as-Saghir no. 3028]

Esok harinya Abdullah Bani’mah pergi ke laut untuk berenang bersama adiknya dan teman-temannya. Lalu mereka pergi ke kolam renang di sekitar pantai. Ketika sampai di kolam renang, Abdullah Bani’mah hendak menunjukkan atraksinya, ia memanjat pagar kolam renang untuk terjun ke air. Ketika ia terjun ke air kepalanya membentur lantai dasar kolam, dan terdengar suara patahan di pergelangan lehernya beberapa kali. Hidungnya mengeluarkan darah. Spontan adiknya dan teman-temannya tidak mengetahui hal itu, karena mereka tahu bahwa Abdullah Bani’mah adalah penyelam yang handal.

Dalam keadaan tersebut ia tidak bisa bergerak, hanya menahan nafas, dan sesekali ia keluarkan nafas untuk membuat gelembung ke atas dengan maksud meminta tolong. Hampir lima belas menit lamanya ia tenggelam, lalu teman-temannya menyadari hal itu. Lalu diangkatlah Abdullah Bani’mah dari dasar kolam dalam keadaan pingsan, dan kepalanya dalam keadaan terbalik. Dengan segera mereka membawanya ke rumah sakit.

Dokter yang merawatnya berkata, “Sesungguhnya manusia normal jika aliran oksigen yang menuju otak terhenti dalam jangka waktu empat menit saja maka akan tertimpa stroke dan apabila berhenti sekitar enam menit saja maka ia akan mati”. Sementara ia tenggelam pada saat itu sekitar lima belas menit, namun tulang leher bagian ketiga, keempat dan kelima patah, yang mengaruskannya dirawat di rumah sakit selama empat tahun, dan operasi sebanyak enam belas kali.

Pernah selama sembilan bulan ia tidak dapat bicara, yang jika ia merasa lapar tidak tahu harus berbuat apa. Dan ketika kenyang tidak tahu harus berbuat apa, sehingga ia masih terus saja disuapi. Sementara di belakang kepalanya terdapat rantai berbobot 20 kg yang berfungsi sebagai penahan kepalanya. Tidak ada yang dapat ia perbuat selain bersabar dari itu semua. Dalam peristiwa itu Abdullah Bani’mah menuturkan sebuah renungan:

“Jika anda mengendarai mobil di jalan raya, apakah anda akan menerobos lampu merah padahal anda tahu ada polisi yang berdiri mengawasi anda? Tentu Anda tidak akan menerobosnya. Tapi demi Allah, berapa banyak ‘rambu-rambu’ Allah yang anda terobos? Ini dikarenakan kita belum mengenal Allah dan belum mengagungkan Allah dengan sebenar-benarnya pengagungan.” [hlm, 70]

:: Tiga Permintaan Abdullah Bani’mah
Kini Abdullah Bani’mah masih hidup, namun dalam keadaan lumpuh total. Hanya kepala yang bisa digerakkan. Hingga saat ini ia pergunakan sisa usianya untuk bertaubat kepada Allah dan berdakwah menyampai pesan-pesannya untuk mengajak manusia bersyukur atas nikmat yang telah Allah karuniakan, terutama nikmat berbakti kepada kedua orang tua. Berikut ini harapan Abdullah Bani’mah yang dahulu semasa ia sehat tidak pernah ia sadari betapa mahalnya nikmat tersebut;
Pertama, aku berharap agar bisa sujud menempelkan dahi ke bumi. Meskipun aku lumpuh, aku tetap menjalankan shalat lima waktu sambil berbaring. Saat sujud aku sujud sambil berbaring. Di hati kecil ini ada perasaan takut jika aku teramasuk orang-orang yang tidak mendapat rahmat Allah pada hari kiamat. Aku takut kepada firman Allah;


يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلا يَسْتَطِيعُونَ   

“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; Maka mereka tidak kuasa” (QS. Al-Qolam, 42)

Kedua, aku berharap bisa membalikkan halaman mushaf Al-Qur’an dengan tanganku saat membaca Al-Qur’an. Apakah ada seseorang yang sehari-harinya selalu berpikir agar dia dapat membuka mushaf dan membalik-balik halamannya? Wahai saudaraku, renungkanlah hal itu. Sesungguhnya aku sangat berharap agar aku dapat membuka mushaf dan membolak-balik halamannya. Aku dapati sekarang mushaf berada di hadapanku namun aku tidak dapat membukanya. Sungguh aku tidaklah ingin merepotkan ibuku dengan berkata, “Wahai ibuku, kemari tolong bukakan mushaf untukku.”

Ketiga, wahai saudaraku, ini adalah harapan yang membuat hatiku teriris. Tetkala hari Ied tiba, atau pada saat kami sedang bergembira, selalu terbayang dalam benakku bahwa aku masuk ke dalam rumahku lalu memeluk ibuku. Namun aku tidak bisa melakukannya sekarang. Apabila datang hari Ied atau hari gembira lainnya, ibuku hanya termenung di sampingku seolah-olah ada yang hilang dari hatinya dan aku pun merasakan demikian. Aku tidak sedang mengeluh, tapi aku ingin Anda merasakan nikmatnya mencium tangan ibumu dan memeluknya.

:: Pesan Abdullah Bani’mah:
“Aku berpesan untuk diriku dan para remaja agar selalu bertakwa kepada Allah ta’ala, kemudian agar selalu mentaati kedua orang tua. Ciumlah tangan keduanya dan mintalah maaf kepada mereka berdua. Hal ini aku katakana karena sesungguhnya siapakah yang berani menjamin bahwa mereka akan terus hidup? Seandainya kita yang meninggal terlebih dahulu maka mungkin bapak dan ibumu akan memaafkanmu. Namun apabila mereka berdua meninggal sebelum kita, maka siapakah lagi yang akan memaafkan kita?”

:: Terkunci di Dalam Mobil.
“Suatu hari aku diundang teman-teman berkumpul di suatu vila peristirahatan di pinggir kota Jeddah. Adikku dan beberapa orang menggotongku keluar rumah dan memasukkanku ke dalam mobil van. Adikku menghidupkan mesin mobil. Sambil menunggu mesin mobil panas, dia pergi keluar untuk berbicara dengan temannya dan menuntup pintu mobil. Secara otomatis terkuncilah pintu mobil dan kunci mobil ada di dalam, sedangkan aku sendirian di dalam mobil tanpa bisa menggerakkan tangan maupun kaki. Sungguh peristiwa yang tidak mengenakkanku.
Kejadian tersebut membuatku merenung dan mengoreksi diriku. Selama ini hampir dua puluh empat jam selalu ada orang di sampingku untuk membantuku menyuapiku dan memberiku minum atau menggaruk wajahku yang gatal dan lainnya. Sekarang aku hanya sendirian di dalam mobil yang terkunci. Aku teringat akan nikmat dan karunia Allah tersebut dan kurang menyadari nikmat tersebut. Atau dengan kata lain, aku lalai saat-saat aku menikmatinya. Seseorang sering tidak merasakan dan menyadari suatu nikmat kecuali jika ia kehilangan nikmat tersebut. Kejadian itu mengingatkanku akan kubur dan hari akhirat. Teman-teman dan saudaraku di luar mobil tidak mampu untuk menolongku saat aku butuh mereka. Begitu juga nanti saat aku di kubur tidak ada seorang pun yang dapat membantuku kecuali iman dan amal shaleh;

مثل ابن آدم وماله وأهله كرجل له ثلاثة إخوة أو ثلاثة أصحاب فقال أحدهم أنا معك حياتك فإذا مت فلستَ منكّ ولستَ مني وقال الآخر أنا معك فإذا بلغت الشجرة فلست منك ولست مني وقال الآخر أنا معك حيا و ميتا.

“Perumpamaan anak adam dengan harta, keluarga dan amalnya seperti seseorang yang memiliki tiga saudara atau tiga sahabat. Seorang di antara mereka berkata; aku menyertaimu selama hidupmu saja. Jika engkau mati maka aku bukan bagian darimu dan kamu bukan bagian dariku. Seorang yang lain berkata, ‘aku akan menyertaimu jika kamu sudah sampai pohon itu (di kubur) maka aku bukan bagian darimu dan kamu bukan bagian dariku. Sedangkan orang yang ketiga berkata ‘aku akan selalu menyertaimu semasa hidup dan sesudah matimu’.” [HR Bazzar dan rawi-rawinya adalah rawi Bukhari. Syaikh Albani berkata hadits ini hasan shahih dalam Shahih At-Targhib Wat Tarhib]

-------------------------
       Penulis berwasiat kepada dirinya dan kepada para pembaca agar selalu memperisapkan bekal taqwa, untuk perjalanan ke tujuan yang sama yaitu akhirat. Hari itu tidaklah seseorang bisa menolong seseorang lainnya, segala urusan ditanggung masing-masing di hadapan Allah Azza wajalla;

( وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا شَفَاعَةٌ وَلَا يُؤْخَذُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ

“Dan takutlah dirimu akan (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa'at (pertolongan) dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong. [Al-Baqarah: 48]

Semoga Allah memberi kita hidayah untuk menjadi orang yang bersyukur, terutama dalam menuju hari-hari menjelang Ied yang mubarok nanti, insyaAllah, adalah kesempatan kita meminta maaf kepada kedua orang tua dan maafkanlah kesalahan mereka dengan tulus, betapa pun mereka adalah orang yang kebaikannya melebihi dan tidak sebanding dengan kesalahan-kesalahannya, taatilah mereka selama dalam ketaatan kepada Allah.

بابان معجلان عقوبها في الدنيا: البغي و العقوق.

“Dua hal hukumannya disegerakan di dunia yaitu: kezaliman dan durhaka (kepada orang tua)” [HR. Hakim dan dimuat oleh Syaikh Albani dalam Silsilah As-Shahihah juz III, hlm. 194]
 
Hadanallahuwaiyyakum ajma’ien
Kediri, 18 Ramadhan 1432 H
Resensi  Buku:
·       Fariq Gazim Anuz, Saat Hidayah Menyapa, Daun Publishing, 2010.
Peresensi : Achmad Tito Rusady

Komentar