Terluka oleh Suasana

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah yang telah mengajarkan manusia tentang apa-apa yang tidak diketahuinya, Dialah yang menghamparkan bumi sebagai jalan bagi manusia, Dialah yang meninggikan langit tanpa tiang dan menancapkan gunung-gunung dengan kokoh sebagai pasak, Dialah yang menciptakan buah-buahan dengan beragam rasa dan bentuknya, disediakan bagi manusia sebagai hidangan yang menyehatkan, pelajaran bagi manusia untuk senantiasa bersyukur pada Allah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.


Kemanakah Kita Memandang?
Pertanyaan tak berjawab. Pertanyaan ini tertuju untukku dan untukmu kaum lelaki, apakah pertanyaan tadi berjawab? Tidaklah pantas kita menyalahkan keadaan, bijaksananya adalah bertanya terhadap apa yang sudah kita perbuat untuk merubah keadaan? Semoga catatan ini menjadi pengantar bagaimana seharusnya mengambil sikap yang dimulai dari diri sendiri. Rabbi yassir…

:: Terluka oleh Suasana

Wahai kaum lelaki, saat-saat ini adalah saat kita terkepung oleh serbuan kaum jelita yang semakin berani memamerkan apa yang seharusnya mereka tutup. Mungkin mereka korban, ya, korban para peraga iklan dan sinetron di televisi itu. Telah marak adanya kaum wanita yang berkelompok, mereka bernyanyi ria di atas panggung dengan pakaian mini, bergerak ke sana kemari. Mereka tidak miskin, kawan. Sekali unjuk diri di atas panggung berapa banyak rupiah yang mereka dapatkan? Tapi heran, heran, heran, mengapa mereka hanya mampu membeli pakaian yang kurang bahan? Padahal ada banyak wanita sederhana ternyata bisa berbusana rapi, menutup aurat secara sempurna!

Wahai kaum lelaki, korban dari “kekejaman” seperti ini semakin menjamur di sekitar kita. Jika diibaratkan virus, maka virus itu sangat cepat menyebar tanpa henti menularkan penyakit kepada orang lain. Keadaan sekitar kita bukan semakin membaik namun malah semakin mengancam keimanan. Duhai, para lelaki yang memilih menunduk dari pada menonton mereka, periksalah bahwa di hatimu ada jerit yang halus atau pun keras.

Jeritan itu adalah sakit dari luka yang tersayat oleh tajamnya aurat kaum jelita, pedih. Jerit yang tersembunyi, namun jerit itu bisa membulirkan air mata yang berlinangan, di sudut malam. Sambil memeriksa keadaan iman yang masih baik ataukah compang camping karena sesiang tadi mereka datang dari segala arah, menghunus senjata-senjata mereka yang siap merobek jiwa kaum hanif. Syaithan siap mencuri, agar iman ini kian tak ada...  karena ia berarti kehilangan segalanya. Memohon kepada Allah agar ditegarkan di jalan kebenaran.

Rasa gemetar ini menjalar dari hati ke mata yang diterjemahkan dalam bentuk air mata yang mengalir…[1]

Hati laksana rumah, sedang mata menjadi pintunya, pencuri tidak akan masuk ke rumah kecuali jika pintunya terbuka. Jika telah masuk, ia dapat mengambil perhiasan iman dan permata taqwa, lalu meninggalkan hati runtuh begitu saja, di bawah puing-puing bangunan yang lain. Berhati-hatilah dengan pencuri seperti ini. Gerakannya sangat ringan, bisa langsung menyelinap dalam sekejap. Kerena itulah Rasulullah shllallau 'alayhi wasallam ditanya tentang pandangan yang tiba-tiba, beliau menjawab, “Palingkanlah penglihatanmu.” [HR. Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Imam Ahmad, dari Jabir bin Abdullah, dalam Shahih Jami’ ash-Shaghir, no: 1014].

Rasanya terjawab sudah pertanyaan itu, kemanakah kita memandang? Jawabannya adalah palingkanlah! Kemana saja agar tidak terlihat lagi, apalagi sampai terekam dalam pikiran, kemudian bersemanyam di dalamnya menelurkan imajinasi-imajinasi liar yang haram. Beranda kita adalah kedamaian kita. Beranda itu adalah hati, ia bisa menjadi sumber keindahan bisa juga sumber keburukan pekerti. Jika beranda kita baik, aman, damai, maka kita bisa tinggal di dalamnya dengan tenteram, tenang nan teduh.

Hubungan antara mata dan hati sangat erat. Mata adalah sumber air yang mengalir ke telaga hati. Jika kejernihannya berubah menjadi keruh oleh karena terlalu banyak melihat gambar-gambar yang diharamkan, maka telaga itu pun akan menjadi keruh dan rasa airnya pun berubah. Ini membuat telaga tersebut tidak didekati oleh malaikat pemberi ilham, tapi justru setan pembujuklah yang berdatangan.[2]

:: Anak Panah Beracun

Dalam pengertian yang sesungguhnya, panah yang dicabut setelah menancap ke salah satu bagian tubuh akan membekaskan luka. Apalagi jika panahnya beracun maka racun panah itu akan menjalar melalui aliran darah lalu ke jantung dan berujung pada kematian. Hanya saja hati yang terkena panah beracun iblis tidak terasa sakitnya, sulit disadari karena sakitnya tidak serupa dengan sakitnya tertancap panah sungguhan.

إنّ النظر سهم من سهام إبليس مسموم من تركه مخافتي أبدلته إيمانا يجد حلاوته في قلبه

“Sesungguhnya pandangan itu merupakan salah satu dari panah iblis yang beracun. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada-Ku, niscaya Aku akan menggantinya dengan manisnya iman yang dia rasakan di dalam hatinya.”[3]

Berkatalah Syaikh Ibnu Al-Qoyyim rahimullah ta’ala “Panah ini dilepaskan iblis mengarah ke hati, tidak akan melesat ke sasaran lain. Dan tidak ada perisai untuk menangkisnya kecuali menundukkan pandangan atau menjauhkan diri dari sasaran target.”[4]

Namun masih banyak suara-suara sumbang terdengar, jumlahnya tidak sedikit. Mereka bilang memandang wanita yang berbusana seksi itu tidak mengapa asal tidak memandang dengan syahwat. Salah, salah, salah. Sekalipun itu banyak tapi salah, selamanya tetaplah salah. Ikutilah yang benar, yang sesuai perintah Rasulullah shallallahu'alayhiwasallam, sekalipun para pelaksananya sedikit, sekalipun itu engkau seorang diri.

Bagaimana bisa mereka berkata demikian, padahal masa Rasulullah shallallahu'alayhiwasallam adalah masa yang terbaik, lebih baik dari pada saat ini, bukan? namun Rasulullah shallallahu'alayhiwasallam memerintahkan hal ini, maka wajib bagi umatnya untuk taat sejak perintah tersebut turun hingga hari kiamat nanti. Sebagaimana yang beliau sabdakan;

لاتتبع النظرة النظرة فإنما لك الأولى و ليست لك الثانية
“Janganlah kamu menyertakan pada pandangan yang pertama pandangan kedua. Sesungguhnya pandangan yang pertama itu masih dibolehkan bagimu, sedangkan yang kedua tidak dibolehkan bagimu.” [HR. Abu Daud, dalam pembahasan tentang nikah, bab no. 43]

Semoga Allah memberi kekuatan iman, taqwa, dan taufik kepada kita. Usaha untuk taat adalah wajib, tidak ada buah dari ketaatan melainkan rahmat dan kasih sayang dari Allah‘azza wajalla.


إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا
بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ

“Sesungguhnya agama itu mudah. Tidak ada seorangpun yang membebani dirinya di luar kemampuannya kecuali dia akan dikalahkan. Hendaklah kalian melakukan amal dengan sempurna (tanpa berlebihan dan menganggap remeh). Jika tidak mampu berbuat yang sempurna (ideal) maka lakukanlah yang mendekatinya. Perhatikanlah ada pahala di balik amal yang selalu berkesinambungan (istiqomah). Lakukanlah ibadah (secara istiqomah) di waktu pagi dan waktu setelah matahari tergelincir serta beberapa waktu di akhir malam.” (HR. Bukhari no. 39. Al Jauhari mengatakan bahwa yang dimaksud ‘al ghodwah’ adalah waktu antara shalat fajar hingga terbitnya matahari. (Lihat Fathul Bari 1/62, Maktabah Syamilah).



Cantik, izinkan kami menunduk


Segalamu adalah pesona


Namun memandangmu belumlah menjadi hak kami


Terimakasih, padamu yang telah menghalangi pandangan kami


Dari pesonamu yang tersimpan karena taat


Dalam balutan busana syar’i perintah Allah dan RasulNya


Bagimu yang belum melaksanakannya, segeralah


Agar Allah cinta dan menebar rahmatNya kepadamu, wahai sekalian bani Hawa
---------------------------

» Malang, 27 Dzulhijjah 1432 H. 24 November 2011 M.


catatan kaki:

[1] Khalid Ahmad Abu Syadi, Ar-Risalah Targhib wa Tarhib, (Jakarta: Sahara intisains, 2009), hlm. 202

[2] Khalid Ahmad Abu Syadi, Ibid, hlm. 38.

[3] Dijelaskan Ibnu Katsir dalam tafsirnya hadits ini dha’if jiddan, dikatakan oleh Syaikh al-Albani dalam Adh-Dha’iifah (1065), lihat Tafsir Ibnu Katsir, cet: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, hlm. 41.

[4] Manshur bin Abdul Aziz Al-‘Ujayyan, Raudhaltul Al-Mahbub min Kalaami Muharriki A-Quluub Ibni Al-Qayyim, (Surakarta: An-Naba’, 2008), hlm. 52.

Komentar