Ibrahim dan Ismail tidak Menyangka Akhirnya [Kontemplasi Sebuah Ketaatan Sejati]



Sebentar lagi umat Islam akan merayakan hari raya Idul Adha, adalah syiar yang besar dalam Islam. Ada banyak pelajaran dan hikmah yang bisa kita ambil dari hari raya Idul Kurban ini. Di antaranya adalah teladan dari nabi Ibrahim alaihissalam saat menghadapi ujian yang sangat berat. Ibrahim diuji Allah taala dengan istrinya yang lama mandul. Hingga mereka berusia senja, barulah Ibrahim dan istrinya dikaruniai Allah taala anak yang bernama Ismail. Allah taala berfirman:
رَبِّ هَبْ لِى مِنَ الصَّالِحِيْنَ (۱۰۰)
Ibrahim berkata, ”Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.”
 فَبَشِّرْناَهُ بِغُلاَمٍ حَلِيْمٍ (۱۰۱)
”Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.” (Qs. ash-Shâffât/37 ayat  100-101.) 


 Ismail adalah seorang anak yang salih lagi berbakti kepada kedua orang tuanya. Hal ini membuat Ibrahim sangat mencintai dan menyayanginya. Kemudian Allah taala hendak menguji kesabaran Ibrahim dengan sebuah perintah. Allah taala berfirman:

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Isma'il menjawab: "Wahai Ayahandaku, lakukanlah apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Taala kepadamu; insya Allah engkau akan mendapati diriku termasuk orang-orang yang sabar"

Perintah tersebut agaknya tidak masuk akal jika ditimbang dengan logika, dan tidak manusiawi jika ditimbang dengan budaya dan perasaan manusia. Namun demikianlah Islam mengajarkan pemeluknya arti patuh dan pasrah kepada perintah Tuhannya, meski terkadang logika dan perasaan tidak mampu menimbang maslahatnya. Itulah karakteristik Islam sebagai agama yang tinggi. Jika tidak demikian, maka Islam tidak akan menjadi tinggi, karena semua aturannya mampu dicerna logika dan perasaan manusia. Inilah yang membuat kaum liberal mudah tergoda untuk mengubah hukum dan aturan agama, karena merasa berkuasa dengan bersandar kepada akal dan perasaannya.

Logika dan perasaan manusia kerap membuat manusia enggan melaksanakan perintah. Sering kalanya setan menunggangi manusia melalui pintu logika dan perasaannya untuk mengurungkan suatu pengamalan. Sehingga terbersit dalam hatinya, “Saya pikirkan terlebih dahulu. Jika akal saya menerima saya laksanakan, jika tidak, saya bukan orang bodoh yang mau melaksanakannya!” Atau, seperti seseorang yang berpikir seribu kali untuk menutup aurat, meningalkan harta yang haram dan seterusnya.

Nabi Ibrahim, tidak tahu bagaimana akhir (baca: hikmah) dari perintah itu. Ibrahim sebagaimana layaknya manusia, mungkin akan terbayang dalam benaknya, “Anak saya akan mati, tersembelih dengan tangan ayahnya sendiri. Inilah akhirku bersama anak kesayanganku. Anak yang amat salih dan berbakti kepada orang tuanya!”. Dan Ibrahim pun berhasil mengalahkan godaan dalam logika dan perasaannya, ia laksanakan perintah Allah taala atas dasar cinta yang tinggi kepada Tuhannya. Akhirnya Allah taala mengganti Ismail dengan seekor sembelihan yang besar, sebagai balasan dariNya kepada orang-orang yang bertakwa berupa jalan keluar dan rejeki yang tidak disangka-sangka.

“Dan kami menebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. (Yaitu) 'Kesejahteraan yang dilimpahkan kepada Ibrâhîm'. Demikianlah Allah Subhanahu wa Taala memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba Allah Subhanahu wa Taala yang beriman. (Qs. ash-Shâffât/37 ayat  111.)

Mari kita renungkan sejenak tentang keadaan Ibrahim dan anaknya saat melaksanakan perintah Allah taala. Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam tafsir Al Qurthubi[1] dan Baghawi[2], Ismail berkata kepada ayahnya:  

يَا أَبَتِ اشْدُدْ رِبَاطِيْ حَتَّى لاَ أَضْطَرِبَ....
Wahai Ayahku, kencangkanlah ikatanku agar aku tak lagi bergerak.

وَاكْفُفْ عَنِّي ثِيَابَكَ حَتَّى لاَ يَنْتَضِحَ عَلَيْهَا مِنْ دَمِّيْ شَيْءٌ فَيَنْقُصَ أَجْرِيْ وَتَرَاهُ أُمِّيْ فَتَحْزَنُ....
Wahai Ayahku, singsingkanlah baju ayah agar darahku tidak mengotori baju ayah maka akan berkurang pahalaku karenanya, dan (jika nanti) bunda melihat bercak darah itu niscaya beliau akan bersedih

وَيَا أَبَتِ اسْتَحِدَّ شَفْرَتَكَ وَأَسْرِعْ مَرَّ السِّكِّيْنِ عَلَى حَلْقِيْ لِيَكُوْنَ أَهْوَنُ عَلَيَّ فَإِنَّ الْمَوْتَ شَدِيْدٌ....
Dan tajamkanlah pisau Ayah serta percepatlah gerakan pisau itu di leherku agar terasa lebih ringan bagiku karena sungguh kematian itu amatlah dahsyat.

وَإِذَا أَتَيْتَ أُمِّيْ فَاقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلاَمَ مِنِّيْ.... وَإِنْ رَأَيْتَ أَنْ تَرُدَّ قَمِيْصِيْ عَلَى أُمِّيْ فَافْعَلْ....
Wahai Ayah, apabila engkau telah kembali maka sampaikan salam (kasih)ku kepada bunda, dan apabila bajuku ini Ayah pandang baik untuk dibawa pulang maka lakukanlah. 

فَقَالَ لَهُ إِبْرَاهِيْمُ : نِعْمَ الْعَوْنُ أَنْتَ يَا بُنَيَّ عَلَى أَمْرِ اللهِ تَعَالَى....
(Saat itu, dengan penuh haru) Ibrahim berkata: "Wahai anakku, sungguh engkau adalah anak yang sangat membantu dalam menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Taala ". 


Dalam dialog tersebut tergambar jelas bahwa Ibrahim dan Ismail mengalami situasi yang manusiawi. Ismail juga menghadapi rasa takut dan sedih saat melaksanakan perintah besar itu. Seandainya Ismail lebih memilih rasa takutnya dan pergi meninggalkan perintah, apakah akhir dari kisah ini baik? Tentu tidak. Inilah teladan yang baik serta pelajaran yang besar. Seorang muslim dituntut untuk taat kepada Allah taala secara total, sebagai implementasi dari iman kepada Allah taala yang tidak menyiakan hambaNya yang taat. Perhatikanlah janji Allah taala terhadap orang-orang yang bertakwa,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“..Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rejeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya..” (QS. At Tholaq: 2-3] 

Orang yang bertakwa selalu melaksanakan perintah Allah tanpa banyak pertimbangan. Dengan kata lain ia tidak peduli bagaimana akhir dari sebuah perintah, karena keyakinannya yang sempurna bahwa setiap perintah adalah baik. Berbeda dengan orang yang selalu menimbang-nimbang dengan akal dan persaannya, apakah perintah ini menguntungkan ataukah tidak. Oleh karenanya ia disibukkan dengan pikirannya, sehingga ia jalani perintah dengan ragu ataupun setengah hati.

Syaikh Muhammad bin Salih Al Utsaimin[3] berkata dalam tafsir ayat Allah sami’na wa atho’na (kami mendengar dan kami taat) dalam surat Al Baqoroh ayat 286, beliau mengatakan,  “Begitulah seharusnya seorang mukmin ketika mendapat perintah dari Allah dan Rasulnya. Seorang mukmin tidak boleh memikir-mikirnya, seperti menanyakan apakah amal ini sunnah ataukah wajib? Karena setiap perintah yang diamalkan akan tetap diberi pahala baik perintah yang wajib atau sunah”. Beliau melanjutkan,

ولهذا لم نعهد ولم نعلم أن الصحابة ـ رضي الله عنهم ـ كانوا إذا أمرهم الرسول صلى الله عليه وسلم بأمر قالوا : يا رسول الله ؛ أعلى سبيل الوجوب أم على سبيل الاستحباب ؟ ما سمعنا بهذا ، كانوا يقولون : سمعنا وأطعنا ويمتثلون .

“Oleh karenanya, kami tidak mengetahui di kalangan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam jika mereka diperintahkan oleh beliau atas suatu perkara, mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, perintah ini wajib ataukah sunnah saja?” kami tidak mendengarnya, para sahabat hanya berkata, “Kami mendengar dan kami taat”. Dan mereka pun melaksanakannya.”

Dalam dunia pekerjaan, seseorang dituntut untuk melaksanakan aturan kerja dengan sebaik-baiknya. Jika tidak, maka ia tidak akan mendapatkan hasil dari pekerjaannya. Akhirnya, mengapa manusia mampu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan iman dan akhiratnya ia laksanakan dengan banyak keengganan? Hanya kepada Allah tempat meminta pertolongan.

(Oleh: Achmad Tito Rusady, S.S., M.Pd)
Selesai ditulis pada 3 Dzulhijjah 1435 H/27 September 2014 M. Kota Malang.


Foot Note: 
--------------------------------------------------------------
[1]  أبو عبد الله محمد بن أحمد بن أبي بكر بن فرح الأنصاري الخزرجي شمس الدين القرطبين، تفسير القرطبي، دار الكتب المصرية – القاهرة، 1964، 15/114

[2]  محيي السنة ، أبو محمد الحسين بن مسعود بن محمد بن الفراء البغوي الشافعي، معالم التنزيل في تفسير القرآنم/ تفسير البغوي،دار إحياء التراث العربي -بيروت 1420 هـ، 4/37 


[3] http://www.ibnothaimeen.com/, باب وجوب الانقياد لحكم الله تعالى, dilihat pada 23-09-2014.

Komentar