Ditempa Kepayahan

"Hukuman teringan di kelas, kapur di masukkan ke salah satu lubang hidung murid yang nggak bisa baca kitab, atau salah baca kitab", tutur temanku mengisahkan ahwal pondok salafnya dulu. Di pesantrennya pelajaran dibagi menjadi dua, yaitu madrasah dan diniyah. Kelas madrasah dimulai pukul tujuh sampai dengan jam dua siang. Materi pelajaran sebagaimana sekolah pada umumnya. Adapun kelas diniyah dimulai sejak lepas sholat maghrib dengan materi keagamaan (diniyah), metodenya adalah sorogan (membaca kitab di depan kyai atau guru).

"Sampai jam 10 malam, lepas itu kami harus belajar untuk pelajaran besok, sampai jam sebelas malam", lanjut temanku. "Walaupun disuruh belajar, tetap saja kami curi cara. Buku yang dibaca adalah buku pelajaran umum, tapi di dalamnya diselipkan kitab kuning untuk pelajaran diniyah. Karena guru diniyah itu lebih kejam", terangnya tersenyum.

"Lho kenapa?", tanyaku ingin tahu. Selanjutnya ia kisahkan hukuman bagi yang tidak bisa baca kitab dengan huruf-huruf arab gundul itu dari yang teringan sampai yang terberat. "Ada yang sampai angkat kursi sampai akhir pelajaran. Ada yang diseplak (tempeleng)," kami tertawa serentak.

Aku termenung tersadarkan, ternyata sistem pesantren temanku lebih "kejam" dari pesantrenku untuk aspek baca kitabnya. Memang berbeda, di pesantrenku penekanannya di keterampilan berbicara. Di aspek inilah kami "dikejamkan".

Apapun itu, yang penting disiplin. Manusia lebih banyak diantarkan kepada cita-citanya karena disiplin daripada bakatnya. Orang berbakat tapi tidak dispilin akan nol besar hasilnya.

Hikmah:
1. Jika emas ditempa dengan dibakar, maka manusia ditempa dengan kepayahan, masalah, dan musibah untuk menjadi hebat.

2. Jika tidak mendapatkan lingkungan seperti pesantren, maka wajib memberlakukan disiplin diri. Hukum diri sendiri jika tidak melaksanakan agenda, atau salah dalam latihannya. Jangan lupa, beri apresiasi juga atas keberhasilan yang dicapai meski kecil.

3. Kenyamanaan terkadang musuh berat keberhasilan. Konon sekelompok pasukan perang pendatang menang melawan pemukim, karena mereka telah membakar perahu-perahu mereka. Jika kenyamanan dirasa mulai mematikan gerak dan usaha, maka bakarlah kenyamanan itu dengan apa pun alasannya.

4. Kenyamanan terkadang seperti angin semilir, yang mengundang kantuk bagi orang yang sedang di puncak pohon. Lalu tanpa sadar ia pun jatuh. Kesulitan dan kepayahan atau ancaman terkadang seperti angin ribut, yang justru menguatkan si pemanjat pohon.

5. Mengidentifikasi bahaya apa yang akan saya terima jika saya tidak melakukan ini. Agar menjadi pecut yang melajukan langkah pelakunya.

6. Sekolah yang menerapkan disiplin keras harusnya disyukuri.

hadanallahu waiyyakum ajma'in

Kota Apel, 10/12/2014. at 23:22 am.

Komentar