Harmoni Syawal yang Ternoda

Ketika Syawal serombongan besar manusia mudik ke kampung halamannya, mengadakan silaturahim kunjung mengunjung sanak keluarga. Saya pun mengadakan agenda yang sama, ke sebuah desa tempat Mbah dan sanak keluarga tinggal. Si Mbah punya sepasang ayam, yaitu ayam jago dan ayam betina ditempatkan dalam satu kandang.
Aku memperhatikan bagaimana sepasang ayam ini berada dalam satu kandang, ketika aku memberi pakan berat, bukan pakan pokok seperti jagung atau beras, melainkan potongan kue sisa. Dan saat aku masukkan kue itu, apa yang terjadi? si Jago tetap tegap berdiri hanya sesekali melihat makanan yang jatuh tepat di kakinya, secara cepat si betina menyambut makanan itu.


Belum habis kue itu dilahap si betina, kumasukkan lagi potongan kue lainnya. Si Jago menundukkan kepalanya perlahan lalu memungut kue itu dengan paruhnya, kukira ia lahap habis karena aku tahu ini sudah lewat jam makan, tentu saja perutnya keroncongan. Namun perkiraanku salah, kue itu memang benar ada di mulutnya sambil bersuara, “ck… ck.. ck...” tentu dengan bahasanya. Belum juga ia telan kue itu,  si betina menghampiri, dan menyambut makanan yang ada di paruh si jago, si betina melahapnya lagi.

Ya, si Jago menawarkan sarapan paginya kepada si betina. Lain ceritanya, jika yang satu kandang adalah sesama ayam jago. Dua kali aku melakukan hal yang sama, tiga kali, dan ke empat kalinya, si Jago belum menelan sedikitpun kue yang tampak lezat itu dari tanganku, sama seperti awalnya, si jago berbunyi “ck… ck… ck…” kepada si betina. Sementara si betina masih menyantap sarapan paginya.

Beberapa hari kemudian, menu makan berganti lagi. Setingkat lebih spesial dari biasanya. Kemarin pamanku membelikan anak-anaknya ikan-ikan kecil yang dimasukkan ke dalam toples kaca, namun usianya tidak bertahan lama. Sebagian besar mati, sekitar lima ekor ikan mati itu kumasukkan dalam kandang, dan kusaksikan peristiwa yang sama seperti sebelumnya. Si jago ber “ck… ck… ck…” lagi.

Hari kemudian, di suatu pagi kulihat tempat minumnya kering. Lalu kuambil air dan kuisi tempat minum itu hingga penuh. Si jago tak berkutik, kali ini ia tidak berbunyi “ck… ck… ck…” tapi ia diam, tampaknya sedang mempersilahkan si betina untuk minum terlebih dahulu. Padahal tempat minum cukup besar dan sangat cukup untuk minum berdua. Si jago kemudian minum, setelah si betina selesai minum dan meninggalkan tempat minumnya. Selesai.
---------------------------------------------


Suatu pagi di Syawal yang ke enam, terdengar suara gaduh di tetangga sebelah. Ternyata terjadi pertengkaran mulut, kata-katanya sungguh tidak enak didengar. Sepasang suami istri, cukup tua usianya. Saling bentak. Tidak semua kusimak. Hanya beberapa kalimat kasar yang kuingat, diantaranya, dengan bahasa jawa “Tak beleh kene!” artinya “nanti saya sembelih (kamu)!” Suaranya keras, sehingga terdengar sampai ke rumah kami.

Bukankah Ramadhan baru saja berlalu, dan seharusnya suasana ini suasana bergembira dan saling bermaaf-maafan? Harmoni Syawal yang ternodoa, begitulah judul catatan ini. Sebagaian orang yang kumintai pendapat, mereka bilang peristiwa itu sudah biasa. Benarkah? Apakah karena usia pernikahan setua itu pertengkaran mulut dengan kata-kata kasar itu lumrah? Saya mengajak kepada siapa saja yang pernah mendengar kata-kata itu untuk berazam, “Tidak bagi keluargaku!”. Serta bermohon kepada Allah agar dijauhkan dari peristiwa yang demikian.

Masalah dalam rumah tangga memang hal yang lumrah. Sepasang insan yang dipertemukan Allah dalam maghligai rumah tangga ini adalah dua orang yang tidak sama dalam segala hal. Namun hanya orang-orang yang menganggap hal itu adalah bencana yang merasakan biduk rumah tangganya adalah lembah-lembah neraka.

Sebaliknya jika itu dianggap anugerah, maka saksikanlah dua insan yang hidup dalam taman-taman surga dalam rumahnya. Ah, rasanya terlalu dini saya berbicara ini. Tapi bukanlah suatu larangan bagi siapa pun, bujangkah dia, sudah bekeluargakah dia, untuk menyumbangkan gagasannya mengenai kehidupan rumah tangga yang ideal.

Hanya saja si bujang menyampaikan mengenai hal ini bukan karena sok tahu, namun posisikanlah kami sebagaimana dulu kalian belum menggapai bahtera itu.
Ingatlah ketika saat-saat sendiri itu menggelisahkan, betul?

Sedikit malas pulang ke rumah atau ke kos-kosanmu karena memang tidak ada yang kau kunjungi?

Ingatlah saat-saat menggelisahkan itu, pemuda yang menjadi sasaran empuk jerat-jerat syetan.

Betapa cemas dan waswas ketika kaki mulai melangkah keluar rumah, hatimu selalu mengantongi perasaan khawatir takut tergoda kaum jelita yang semakin memamerkan pesonanya.

Dan ada yang tetap menyembunyikan pesonanya, berjubahkan busana syar’ie, dan lebih susah payah kau palingkan mata.

Dalam kesendirianmu selalu kau selipkan do’a seusai shalat fardlu dan shalat sunah, atau di antara adzan dan iqamah, agar segera dipertemukan olehNya salah satu dari kaum jelita itu yang dengan izinNya mampu selamatkan separuh agamamu, anak-anakmu, dan keluargamu.
Terkabul sudah. Kau labuhkan cintamu dalam bahtera rumah tangga.

Ia halal bagimu, dan kau halal baginya. Manis, bukan? Setelah lama menahan pahitnya sabar, kini kau petik buahnya yang manisnya seperti madu.

Awal-awal episodemu berjalan bagi raja dan ratu, sejuta rencana dan kejutan-kejutan kau agendakan. Syahdu.

Tahun pertama orang bertanya status maritalmu, kau jawab “baru satu tahun”. Tahun kedua jawabanmu masih sama, “baru dua tahun”. Tahun ketiga, keempat, kelima, kesepuluh semoga jawabanmu tetap “baru sepuluh tahun menikah”. Sukur-sukur sampai dua puluh tahun, kau masih bilang “baru dua puluh tahun”.

Ah, pengantin sepanjang masa. Begitu yang kutahu dari beberapa bujang memimpikan itu.
Para bujang ini mempertanyakan hal yang sama, “mengapa rumah tanggamu seperti neraka?”. Pertanyaan yang memang agak lucu, sebab yang bertanya adalah orang-orang yang belum pernah merasakan lika-liku rumah tangga.

Baiklah pertanyaannya dimisalkan saja seperti anak jalanan yang kelaparan karena sudah beberapa hari tidak makan, lalu di hadapannya ada seseorang menyantap roti belapis daging lezat kesukaannya dan, sekaligus, kesukaan anak jalanan tadi.

Tapi apa yang ia saksikan? Orang itu mencaci maki roti kesukaannya itu setelah beberapa kunyahan, kurang sausnyalah, kurang garamlah, kurang tebal dagingnya, kurang tipis, kurang dan kurang lagi, mengeluh dan mengeluh.

Sementara itu si anak jalanan ini menderita kelaparan hebat selama beberapa hari, ia terheran-heran bahwa ternyata kue yang sangat lezat itu meluncur begitu saja ke dalam kotak sampah. Si anak jalanan hanya melongo menyaksikan peristiwa yang paling mengherankan selama hidupnya.
Selesai.
----------------------------------------------------

Pertama peristiwa ayam jantan dan betina. Kedua, peristiwa pertengkaran suami istri di bulan Syawal. Ketiga, si anak jalanan yang terheran-heran. Sulit memadukan ketiganya menjadi cerita yang lengkap dan beruntun, hikmahnya biar terangkai sendiri dalam nuranimu. Sekiranya baik ambillah, sekiranya jelek buanglah.

Penutup, si bujang tampak seperti bocah ingusan yang bersemangat menjelaskan manisnya permen padahal ia belum pernah menikmati benda itu. Walillahil matsalul a’laa.(bagi Allah-lah perumpaan yang tertinggi)

Si bujang menutup catatannya dengan tanda tanya besar di benaknya, mengapa engkau tidak bersyukur?
_________________________________
Achmad Tito Rusady» Gersik, Balongpanggang, 6 Syawal 1432 H/05 September 2011 M.

Komentar