Dahulu di jaman jahiliyyah Arab,
orang-orang mengundi nasibnya dengan menerbangkan seekor burung. Jika burung
itu terbang ke arah utara, maka mereka akan pergi ke utara. Mereka percaya
bahwa rejeki dagang mereka hari itu sedang berada di arah utara. Dari sinilah
istilah itu diambil. Tathoyyur berasal dari kata thooir (burung).
Adapun secara istilah, tathoyyur
adalah seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Al Atsir:
والطيرة كما عرفها ابن الأثير: هي التشاؤم بالشيء، وهو
مصدر تطير، يقال: تطير طيرة، وتخير خيرة، ولم يجئ من المصادر هكذا غيرهما، وأصله
فيما يقال: التطير بالسوانح والبوارح من الطير والظباء وغيرهما، وكان ذلك يصدهم عن
مقاصدهم، فنفاه الشرع، وأبطله ونهى عنه، وأخبرهم أنه ليس له تأثير في جلب نفع أو
دفع ضر. اهـ.
“Pengertian
dasar dari tathoyur adalah mengaitkan kesialan dengan sesuatu. Tathoyur adalah
perbuatan mengaitkan nasib seseorang dengan peristiwa, angin, burung, kijang,
atau yang lainnya. Mereka jadikan tanda-tanda itu untuk mengurungkan keinginan
dan perbuatan mereka. Maka syariat Islam melarang dan membatalkannya. Serta menjelaskan
bahwa tathoyur tidak memberkan pengaruh, baik manfaat atau bahaya bagi manusia”.
Syaikh
Utsaimin –rahimahullah- berkata,
هو التشاؤم بمرئي أو مسموع أو معلوم، بمرئي مثل: لو رأى طيرا
فتشاءم لكونه موحشا، أو مسموع مثل: من هم بأمر فسمع أحدا يقول لآخر: يا خسران، أو
يا خائب، فيتشاءم، أو معلوم، كالتشاؤم ببعض الأيام أو بعض الشهور أو بعض السنوات،
واعلم أن التطير ينافي التوحيد
“Tathoyyur
adalah mengaitkan kesialan dengan apa yang dilihat, atau yang didengar, dan atau
yang diketahui. Dengan penglihatan misalnya, jika seseorang melihat burung
tertentu dia merasa sial karena burung itu adalah hewan yang merasa sepi. Dengan
pendengaran misalnya, jika seseorang menginginkan sesuatu kemudian terdengar
oleh orang lain, maka dia berkata –rugilah aku, celakalah aku- lalu dia
pun pesimis. Dengan pengetahuan misalnya, pesimis karena hari-hari tertentu
atau bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu. Ketahuilah bahwa
tathoyyur ini menghilangkan ketauhidan seseorang”
Nah, praktiknya di jaman sekarang ini
bermacam-macam. Kita pernah mendengar orang-orang berkata, “Jika cicak jatuh
ke kepala itu tanda kesialan”. “Kalau ada suara burung gagak di malam hari,
berarti ada yang meninggal”. “Kalau menabrak kucing, harus dikubur. Biar tidak
terjadi sesuatu!”. “Hati-hati dengan angka 13!”, dan lain sebagainya.
Seorang muslim tidak boleh
mempercayai hal-hal demikian, karena yang demikian itu adalah perbuatan
menyandarkan sesuatu kepada selain Allah ta’ala. Secara otomatis kita sedang
berkeyakinan bahwa yang mendatangkan manfaat dan bahaya adalah benda-benda,
hari-hati, atau tanda-tanda alam. Perbuatan seperti ini dihukumi perbuatan
syirik. Sebagaimana yang terdapat dalam riwayat
dari Ibnu Mas’ud rodhiallahu ‘anhu ,
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وماَ مِنَّا إلاَّ، وَلَكِنَّ اللّهض يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
“Tathoyyur adalah kesyirikan, tathoyyur adalah kesyirikan, dan tidak ada seorang pun dari kita kecuali (telah terjadi dalam dirinya sesuatu dari hal itu), akan tetapi Allah menghilangannya dengan tawakal.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi dan ia menyatakan shahih dan menjadikan perkataan terakhir adalah dari perkataan Ibnu Mas’ud. Lihat Fathul Majid)
Jangankan kepada benda-benda,
hari-hati, atau tanda-tanda alam tadi, tathoyur kepada nabi pun tidak boleh. Hal
ini pernah dilakukan oleh orang-orang musyrik di jaman Rasulullah shallallahu ‘alayhi
wasallam yang Allah ta’ala abadikan di dalam surat An Nisa:
{.... وَإِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ فَمَالِ هَؤُلاءِ الْقَوْمِ لا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا * مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولا وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا} .78. Dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun? 79. Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi. (QS. An Nisa: 78-79)
Syaikh
Abdurrahman As Sa’di menjelaskan bahwa perbuatan mereka itu adalah bentuk
tathoyur kepada nabi. Yaitu, jika mereka mendapatkan kenikmatan mereka katakan
itu berasal dari Allah ta’ala. Namun jika mereka mendapat musibah, mereka
mengatakan bahwa hal tersebut dari Rasullah shallallahu ‘alayhi wasallam.
Dahulu,
kaumnya Firaun juga bertathoyyur kepada Nabi Musa, sebagaimana firmanNya:
{فَإِذَا جَاءَتْهُمُ
الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا
بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ} .
Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata:
"Ini adalah karena (usaha) kami". Dan jika mereka ditimpa kesusahan,
mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang
besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari
Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (Qs. Al A’raf: 131).
Dan juga kaumnya
Nabi Yasin,
وقال قوم ياسين
لرسلهم: {إِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهُوا
لَنَرْجُمَنَّكُمْ}
36:18. Mereka
menjawab: "Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya
jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan
kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami". (Qs. Yasin: 18)
Jadi, Allah ta’ala melarang kita
bertathoyur. Kita hanya hanya diperintahkan untuk bergantung kepada Allah ta’ala
semata. Sebab, tidaklah kebaikan dan keburukan itu terjadi melainkan atas
ijinNya. Di dalam kitab At Tauhid karya Syaikh Muhammad At Tamimi dikatakan
bahwa, “Sedikit atau banyak setiap manusia pernah dan akan melakukannya”.
Lantas bagaimana cara kita menghilangkan keyakinan itu jika kita terlanjut melakukannya? Salah
satunya beliau terangkan dalam sebuah hadith yang diriwayatkan
Ibnu ‘Amr, “Barangsiapa yang mengurungkan
hajatnya karena tathoyyur, maka ia benar-benar telah berbuat kemusyrikan.
Mereka berkata, ‘Lalu apa yang dapat menghapus itu?’ Ia berkata, ‘Hendaknya
orang itu berkata,
اللًّهُمَّ لاَ
خَيْرَ إلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إلاَّ طَيْرُكَ
“Allahumma la khaira illa
khoiruk walaa thoiro illa thoiruk”
‘Ya
Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu dan tidak ada kesialan kecuali
kesialan dari engkau dan tidak ada Ilah yang haq selain Engkau.'” (HR.Ahmad)
****
Malang,
28/04/15. Alfaqir Ilaa Robbihi, Achmad Tito Rusady
____________________________________________________________
Referensi:
عبد
الرحمن بن ناصر بن عبد الله السعدي، تيسير الكريم الرحمن في تفسير كلام المنان،
(مؤسسة الرسالة الطبعة: الأولى 1420هـ -2000 م)
Syaikh Muhammad at-Tamimi, “Pemurnian Ibadah Kepada Allah”,
(Bekasi: Darul Haq).
Komentar
Posting Komentar