Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat). Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.” (HR. Bukhari no. 6970 dan Muslim no. 2675).
Kedudukan hadith:
Hadith
ini adalah termasuk hadith tentang harap (roja’) kepada Allah dengan harapan
yang besar, yang mendorong seorang muslim untuk berprasangka baik kepada Allah
dan berdzikir kepadaNya, serta penjelasan tetang kedekatan Allah ta’ala kepada
hambaNya apabila hamba tersebut melaksanakan ketaatan.
Kosa kata:
ملأ : adalah sekelompok manusia yang
paling mulia, para tokoh dan pemukanya dijadikan rujukan. Dan yang dimaksud
dalam hadith di atas, adalah kelompok.
Prasangka Baik kepada Allah.
Hadith
ini diawali dengan ajakan untuk berprasangka baik (husnudzon) kepada Allah di
setiap keadaan. Allah ta’ala menjelaskan bahwa Dia sesuai prasangka hambaNya.
Artinya, Allah akan memperlakukan hambaNya sesuai prasangkanya kepadaNya. Jika
seorang hamba membaikkan prasangkanya kepada Allah, maka sejatinya ia sedang
berharap kepada Allah ta’ala. Karena Allah ta’ala tidak akan pernah
mengecewakan harapan hambaNya. Ciri orang yang husnudzon kepada Allah, adalah
jika seorang ia berdoa kepadaNya, dia yakin bahwa Allah akan mengijabahinya.
Jika dia berdosa, dia bertaubat dan beristighfar kepadNya. Di hatinya ada
keyakinan bahwa Allah ta’ala menerima taubatnya dan mengampuninya. Jika dia
beramal sholeh, dia yakin bahwa Allah ta’ala akan menerimanya dan memberinya
ganjaran yang terbaik. Semua itu adalah hasil dari prasangka yang baiknya kepada
Allah ta’ala. Di antara sabda Rasulullah shalllahu ‘alayhi wasallam, “Berdoalah
kalian kepada Allah dengan yakin bahwa doa kalian pasti diijabahNya”. (HR.
At Tirmidzi). Dikatakan,
وإني لأدعو الله حتى كأنني أرى بجميل الظن ما الله صانع
Aku berdoa kepada Allah ta’ala sampai aku seolah
melihat dengan prasangka baikku bahwa Allah ta’ala adalah sebaik-baik Pencipta
Dengan
demikian husnudzon kepada Allah ta’ala adalah salah satu kewajiban dalam
tauhid. Karena husnudzon dibangun atas ilmu (mengetahui) rahmat Allah,
kemulianNya, kebaikanNya, dan kekuatanNya. Jika ilmu tentang itu semua telah
dimiliki oleh seorang hamba, maka dia bisa berhusnudzon kepada Allah.
Allah
ta’ala telah mencela suatu kaum dari manusia yang berprasangka buruk kepadaNya.
Sehingga Allah ta’la menjadikan su’udzonnya itu sebagai tanda-tanda kemunafikan
mereka, dan buruknya kepribadian mereka. Allah ta’ala berkata tentang
orang-orang munafik saat mereka meninggalkan Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam
dan para sahabatnya di perang Uhud,
“….sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh
diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti
sangkaan jahiliah (QS. Ali Imran: 154).
Di ayat lainnya Allah
ta’ala berkata tentang orang-orang munafik dan musyrik ,
“…supaya Dia mengazab orang-orang munafik
laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang
mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah.” (Qs. Al Fath: 6).
Hadith
ini menitikberatkan sisi roja’ (harap) seorang hamba kepada Robbnya. Karena
setiap orang yang berakal akan memilih berhusnudzon kepada Allah daripada
suudzon kepadaNya ketika mengetahui hadith ini. Terlebih ketika ia berada dalam
keadaan faqir dan lemah, atau saat sakaratul maut, ia sangat butuh kepada Allah
azza wajalla. Ia harus berbaik sangka kepada Allah ta’ala. Sehingga di dalam
hadith dikatakan, “Janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan
berhusnudzon kepada Allah”. (HR. Muslim dari Jabir Radhiyallahu
‘anhu).
Oleh
karenanya seorang hamba harus bersungguh-sungguh membaikkan sangkaannya kepada
Allah. Dia harus yakin bahwa Allah ta’ala akan menerima amal ibadahnya dan
mengampuni dosanya. Jika tidak demikian, berarti dia putus asa dari rahmat Allah.
Siapa saja yang meninggal dengan prasangka yang buruk, maka dia meninggal dalam
keadaan seperti prasangkanya itu. Di dalam hadith yang lain dikatakan, “Aku
sesuai prasangka hambaKu. Oleh karena itu, berprasangkalah sesuka hatinya
kepadaKu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Antara
Putus Asa dan Tertipu
Di
antara yang harus diketahui dalam bab ini adalah bahwa husnudzon kepada Allah
adalah baiknya dalam beramal. Bukan bersandar pada angan-angan karena tertipu
atas sifat Kemahamaafaan Allah. Oleh karena itu hendaknya seorang hamba
menjauhkan dirinya dari dua hal berikut; pertama, putus asa dari rahmat
Allah. Kedua, merasa aman dari hukuman Allah.
Seorang
hamba tidak boleh bersandar pada rasa harapnya dan husnudzonnya saja tanpa amal
perbuatan. Karena yang demikian itu adalah kebodohan dan merasa aman dari
hukuman Allah. Di samping itu pula seorang hamba tidak boleh melebihkan rasa
takutnya karena itu akan membuatnya putus asa dari rahmat Allah.
Kedua
sifat tadi adalah sifat yang tercela. Oleh karenanya dalam berhusnudzon kepada
Allah ta’ala harus diiringi dengan amal dan perbuatan. Salah seorang salaf
berkata,
رجاؤك لرحمة من لا تطيعه من الخذلان والحمق
“Harapanmu kepada rahmat Allah bukan didasari
atas kekecewaan dan kebodohan”.
Pahala
bagi Orang-orang yang Berdzikir
Di
hadith tadi juga dijelaskan tentang keutamaan dan pahala dizkir. Allah ta’ala
menyebutkan bahwa Dia bersama orang hambaNya ketika hamba itu mengingatNya.
Arti ma’iyah (kebersamaan) di sini adalah makna yang khusus.
Yaitu, penjagaan, peneguhan, dan perbaikan dari Allah ta’ala. Sebagaimana
firmanNya kepada nabi Musa dan Harun,
“Allah berfirman: "Janganlah kamu berdua
khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan
melihat". (QS. Thoha:46).
Dan
sebaik-baik dzikir adalah bersesuaiannya antara lisan dengan hati, dengan
merenungi maknanya. Termasuk dizikir yang paling agung di sini adalah
mengerjakan semua perintah Allah ta’ala dan menjauhi semua laranganNya.
Balasan
untuk Orang yang Mendekatkan Dirinya kepada Allah.
Allah
ta’ala menjelaskan luasnya keagungan dan keutamaan taqorrub (kedekatan)
Allah ta’ala kepada hambaNya. Setiap kali seorang hamba mendekatkan dirinya
kepada Allah, semakin bertambah kedekatan Allah ta’ala kepadanya. Allah ta’ala
menyebutkan di dalam Al Qur’an,
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu
tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah
mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS. Al Baqoroh: 186).
Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wasallam juga bersabda, “Keadaan yang paling
dekat antara hamba dengan Robbnya adalah sujud. Maka perbanyaklah berdo’a
ketika sujud” (HR. Muslim). Adapun firman Allah ta’ala berfirman,
“Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya
sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa.
Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan
berjalan cepat.” Menujukkan bahwa ganjaran dari Allah ta’ala lebih
besar daripada perbuatan yang dikerjakan seorang hamba. Oleh karena itu seorang
hamba hendaknya memperbanyak amalnya untuk Allah, kaerna Allah akan membalasnya
dengan balasan yang lebih banyak dan lebih baik.
____________________________________________________
>>>
Diterjemahkan dari laman. http://articles.islamweb.net/ أنا
عند ظن عبدي بي..
****
Penjelasan
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin –rahimahullah ta’ala -
Kapan
seseorang dikatakan berhusnudzhon kepada Allah? Seseorang dikatakan husnudzon
kepada Allah ta’ala ketika dia berharap kepada Allah dan beramal serta
berkeyakinan bahwa Allah ta’ala akan menerimanya. Adapun orang yang husnudzon
tapi tidak disertai amal, maka ini adalah angan-angan belaka. Siapa saja yang
mengikuti hawa nafsunya lalu berharap kepada Allah, maka dia adalah orang yang
lemah.
Husnudzon
harus disertai amalan yang baik yang cocok diprasangka baikkan. Seperti, jika
Anda sholat, Anda husnudzon Allah akan menertima sholat Anda. Begitu juga saat
Anda puasa, sedekah, dan amal sholeh lainnya. Adapun jika Anda bermaksiat lalu
berhusnudzon kepada Allah, maka ini adalah sifat orang-orang lemah yang tidak
punya modal apapun untuk menghadap Allah ta’ala kelak.
Makna,
“Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya
sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa.
Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan
berjalan cepat.” Ini adalah keyakinan Ahlu Sunnah wal Jama’ah akan
sifat Allah ta’ala yang disebutkan di dalam hadith tersebut. Dan kita tidak
pernah tahu bagaimana larinya Allah, dan bagaimana mendekatnya Allah kepada
hambaNya. Semua itu adalah perkara yang tidak boleh kita bicarakan. Kita hanya
wajib meyakini maknanya, sedangkan tentang kaifiyyah (bagaimana)-nya,
hanya Allah ta’ala yang tahu.
____________________________________________________________________
المكتبة
المقروءة : الحديث : شرح رياض الصالحين المجلد الثالث بـاب
فضل الرجـاء http://www.ibnothaimeen.com/all/books/article_18198.shtml
Achmad Tito
Rusady, ghofarallahu lahu..
terimakasih , sangat bermanfaat,, :)
BalasHapus