Dikisahkan oleh Khalf bin Muhammad, bahwa Al Imam Bukhari mengalami buta total saat kecil. Pada suatu hari ibunya melihat nabi Ibrahim ‘alayhissalam di dalam mimpinya. Nabi Ibrahim berkata kepadanya, “Wahai ibu, Allah ta’ala telah mengembalikan penglihatan anakmu karena banyaknya doamu”. Esoknya sang ibu mendapati anaknya sudah bisa melihat kembali.[1]
Demikianlah doa mustajabah seorang ibu kepada
anaknya. Jika Allah ta’ala berkehendak, maka terjadilah apa yang Dia kehendaki.
Karena Dialah yang menurukan penyakit dan Dia juga yang menurunkan obatnya.
Allah ta’ala berfirman:
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Jika Allah menimpakan suatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (QS. Al An’am: 17).
Doa
seorang ibu kepada anaknya adalah termasuk salah satu doa yang mustajabah.
Disebutkan di dalam hadith:
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Tiga doa yang mustajabah yang tidak diragukan lagi yaitu doa orang tua, doa orang yang bepergian (safar) dan doa orang yang dizholimi.” (HR. Abu Daud no. 1536. Syaikh Al Albani katakan bahwa hadits ini hasan).
Dari
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ لاَ تُرَدُّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ ، وَدَعْوَةُ الصَّائِمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ
“Tiga doa yang tidak tertolak yaitu doa orang tua, doa orang yang berpuasa dan doa seorang musafir.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 1797).
Yang
dimaksud do’a dalam hadith di atas adalah do’a yang umum, sehingga berlaku
untuk do’a kebaikan maupun do’a kejelekan. Oleh karena itu seyogyanya seorang
anak meminta do’a kebaikan kepada orang tuanya, dan berhati-hati terhadap do’a
kejelekannya. Begitu juga sebaliknya bagi orang tua terhadap anaknya.
>> Seorang Murid “Mengalahkan”
Gurunya
Al Imam Sulaim bin
Ayyub bin Sulaim –rahimahullah ta’ala- meriwayatkan kisa ketika Sulaim masih berusia
10 tahun di Ray (Taheran, Iran), ia bertemu dengan seorang syaikh di sebuah
muhadoroh (kajian). Kemudian syaikh itu berkata kepadanya, “Kemari. Bacalah!”.
Syaikh tersebut menyuruh Sulaim membaca surat Al Fatihah.
Sulaim bercerita: saat
itu aku berusaha keras membaca surat Al Fatihah itu, tapi aku tidak bisa karena
lidahku terkunci (cacat, -pent).
Syaikh berkata, “Apa ibumu masih hidup?”.
“Ya”,
jawabku.
Syaikh berkata,
“Katakan pada ibumu agar dia mendoakamu semoga Allah merizqikan padamu
kemahiran dalam membaca Qur’an dan ilmu yang bermanfaat”.
“Baiklah
Syaikh”, jawabku.
Aku pun pulang dan menemui
ibuku, aku memintanya agar dia mendoakanku sebagaimana yang dikatakan syaikh.
Ibuku pun mendoakanku.
Ketika aku beranjak
dewasa, aku pergi ke Baghdad. Aku belajar bahasa Arab dan fiqh di sana. Setelah
beberapa waktu yang cukup lama aku kembali lagi ke Ray.
Suatu hari aku mengikuti
kajian kitab Al Mukhtashor Al Muzani. Dan aku terkejut ternyata pengajarnya
adalah syaikh yang dahulu pernah kutemui. Akan tetapi dia tidak mengenaliku.
Saat sesi diskusi, aku meminta ijin kepada beliau untuk memberikan penjelasan
mengenai beberapa hal dari kitab itu. Beliau pun tertegun dan merasa mendapati
hal-hal baru dari penjelasanku. Syaikh berkata kepadaku, “Bagaimana cara
belajarmu sampai pandai seperti ini Nak?”. Saat itu aku ingin sekali menjawab,
“Jika Anda punya seorang ibu, maka mintalah ia untuk mendoakanmu”. Tapi aku
malu mengatakannya. [Sairu A’lami An Nubala’, Juz 43, hlm. 156.][2]
>> Do’a Ibunda Syaikh
Abdurrahaman As Sudays.
Waktu itu Syaikh Sudays kecil sedang
asyik bermain-main tanah. Sementara sang ibu sedang menyiapkan jamuan makan
yang diadakan sang ayah. Belum lagi datang para tamu menyantap makanan,
tiba-tiba kedua tangan bocah yang mungil itu menggenggam debu. Ia masuk ke
dalam rumah dan menaburkan debu itu diatas makanan yang tersaji.
Tatkala sang
ibu masuk dan melihatnya, sontak beliau marah dan berkata, “Idzhab
ja’alakallahu imaaman lilharamain,” Pergi kamu…! Biar kamu jadi imam di
Haramain!”
Dan SubhanAllah, kini anak itu telah dewasa dan telah
menjadi imam di masjidil Haram…!! Dialah Syeikh Abdurrahman as-Sudays, Imam
Masjidil Haram yang nada tartilnya menjadi favorit kebanyakan kaum muslimin di
seluruh dunia.[3]
>> Seorang Kakek yang Mutqin
Hafalan Qur’annya
Kisah lainnya datang dari Syaikh Fahd Al Kandari.
Sang qori’ yang memiliki suara yang indah. Beliau juga punya program Safar
Ma’al Qur’an, di berbagai negara termasuk Indonesia. Suatu hari saat beliau
memimpin sholat jama’ah. Di belakang beliau ada seseorang yang biasa
membenarkan bacaan beliau. Ternyata dia adalah seorang kakek. Syaikh Fadh
bertanya, “Bagaimana Anda bisa membenarkan bacaanku dengan hafalanmu. Pasti
engkau sudah menghafal Al Qur’an sejak kecil bukan?”. Kakek itu menjawab,
“Tidak. Aku baru bisa menghafal Al Qur’an di usiaku yang ke 60 tahun”. Syaikh
Fahd tertegun dan bertanya, “Masya Allah bagaimana Anda bisa melakukannya?”.
Kakek itu menjawab, “Ibuku tidak pernah berhenti mendo’akanku agar aku menjadi
penghafal Al Qur’an”.[4]
****
Disusun oleh: Achmad Tito Rusady, ghofarollahu
lahu..
Referensi:
· ابن
عساكر، تاريخ دمشق، (دار الفكر للطباعة والنشر والتوزيع، 1415 هـ - 1995 م)
·
شمس
الدين أبو عبد الله، سير أعلام النبلاء، (مؤسسة الرسالة، ، 1405 هـ / 1985
م
Komentar
Posting Komentar