Kurikulum Pendidikan Generasi Qur’ani

            Bila kita baca biografi Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam As Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, kita akan mendapati satu kesamaan dalam kurikulum pendidikan mereka. Keempat imam tersebut mengawali jenjang pendidikan mereka dengan menghafal Al Qur’an, sebelum mempelajari ilmu lain seperti bahasa Arab, fiqih, dan ilmu lainnya. Pertanyaannya, adakah pengaruh menghafal Al Qur'an dengan kecerdasan seseorang? 

Wallahu a'lam. Penulis belum berkesempatan membaca penelitian tentang itu. Namun, melihat kontribusi besar para imam madzhab tersebut, cukuplah bagi kita untuk mengambil hipotesa bahwa hafalan Al Qur'an memiliki pengaruh terhadap kecerdasan seseorang. Tentu hal tersebut tidak lepas dari kesungguhan dan kegigihan seseorang untuk mau belajar dan berusaha.

Sebagai orang beriman, kita telah diyakinkan banyak hal tentang kebenaran Al Qur’an. Dalam bidang sains misalnya, ada banyak penelitian yang telah membuktikan kebenaran Al Qur’an. Padahal saat Al Qur’an diturunkan tidak ada alat canggih ataupun teknologi untuk mengungkapkannya. Walhasil, banyak para peneliti nonmuslim mendapatkan hidayah dan akhirnya memeluk agama Islam.

Sementara itu, dari sisi medis dan psikologi, Al Qur’an memiliki pengaruh yang positif dengan hasil yang menakjubkan, seperti ketenangan batin dan ketenteraman jiwa. Pengaruh seperti apakah ini? Pengaruh sains ataukah sihir? Kita katakan, tidak. Al Qur’an adalah kalamullah, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam secara berangsur-angsur yang membacanya adalah ibadah.

Ibadah adalah tujuan manusia diciptakan ke dunia ini. Jika ada manusia yang tidak beribadah dalam hidupnya, maka dia telah keluar dari tujuan penciptaannya. Ini sama halnya dengan produk atau barang yang disalahgunakan. Sebuah HP diproduksi oleh perusahaan untuk komunikasi. Jika tidak dapat digunakan untuk berkomunikasi, maka HP itu rusak atau sudah hilang eksistensinya sebgai HP.

Membaca Al Qur’an adalah salah satu bentuk ibadah yang agung. Oleh karenanya, saat seseorang membaca Al Qur’an hati seseorang akan merasa tenang. Allah ta’ala berfirman, “Ketahuilah bahwa dengan berdzikir kepada Allah, hati menjadi tenang”.  (QS. Ar Ra’du: 28).

Ketenangan batin dan jiwa seseorang saat membaca Al Qur’an tidak lain dikarenakan ia telah kembali kepada habitatnya. Sebaliknya, hati dan jiwa yang jauh dari habitatnya akan merasa gelisah dan gundah. Ibnu Taymiyyah berkata:

قال شيخ الإسلام ابن تيمية- قدس الله روحه -: " الذكر للقلب كالماء للسمك، فكيف يكون حال السمك إذا أخرج من الماء"،

“Adz-dzikru (Al Qur’an) bagi hati ibarat air bagi ikan. Apa yang terjadi pada ikan jika ia keluar dari air?”

Oleh karenanya, pengaruh Al Qur’an terhadap jiwa seseorang merupakan keberkahan dan pahala yang Allah turunkan kepadanya. Inilah yang seharusnya menjadi kekuatan seorang muslim untuk menjadi cendikiawan-cendikiawan penerus imam madzhab di masa yang akan datang. Karena ilmu adalah cahaya Allah, yang Allah turunkan kepada jiwa-jiwa yang bersih. Tidak heran jika ada salah seorang ulama pernah menghentikan muridnya mempelajari suatu materi, karena dia belum hafal Al Qur'anSuatu hari Ibnul Qoyyim mendapati salah seorang muridnya sedang sibuk memahami suatu ilmu tapi ia belum menghafal Al Qur’an. Maka beliau berkata kepadanya, “Kalau kamu mengawalinya dengan menghafal Al Qur’an itu lebih utama”.[1]
“Adz-dzikru (Al Qur’an) bagi hati itu ibarat air bagi ikan. Apa yang terjadi pada ikan jika ia keluar dari air?”
“Adz-dzikru (Al Qur’an) bagi hati ibarat air bagi ikan.
Apa yang terjadi pada ikan jika ia keluar dari air?”
Banyaknya ulama yang hafal Al Qur’an di waktu kecil mereka, menunjukkan bahwa menghafal Al Qur’an adalah sebuah keharusan dalam sebuah pendidikan. Disebutkan di dalam Manaqib Syaikh Ibnu Taymiyah, bahwa Ibnu Taimiyah telah menghafal Al Qur’an sejak kecil, setelah itu beliau mempelajari ilmu fiqh dan bahasa Arab hingga beliau pun menjadi pakar dalam kedua bidang tersebut.[2]  Pun demikian Imam As Syafi’i yang sudah menghafal Al Qur’an di usia tujuh tahun sebelum menghafal kitab Al Muwatto’ di usianya yang ke 10 tahun.[3] 

            Mengawali jenjang pendidikan anak dengan menghafal Al Qur’an, sehingga menjadi seorang yang jenius bukanlah suatu kebetulan. Akan tetapi sebuah kemukjizatan Al Qur’an yang membuat kecerdasan seorang anak meningkat. Selain dibuktikan dengan kontribusi besar para imam madzhab dalam karya-karya mereka, keunggulan tersebut juga dibuktikan dengan prestasi anak-anak muslim Palestina yang hafal Al Qur’an.

Masih segar dalam ingatan kita artikel tentang penelitian Dr Stephen Carr Leon, yang menulis hasil pengamatannya selama tiga tahun di Israel tentang kecerdasan anak-anak Yahudi. Ternyata para ibu mereka membiasakan diri melakukan kegiatan-kegiatan positif saat mengandung janinnya. Sehingga anak-anak itu lahir dengan membaawa kebiasaan yang dilakukan ibunya saat mengandung. Jika seorang ibu gemar mengerjakan soal-soal matematika, maka anaknya kelak menyimpan bakat matematika yang luar biasa.[4] Akan tetapi kecerdasan anak-anak Yahudi ini terkalahkan dengan kecerdasan anak-anak muslim Pelestina. Karena di usia dini mereka, anak-anak muslim Palestina telah hafal Al Qur’an. Tercatat pada tahun 2008 sekitar 3500 anak Palestina telah dilantik sebagai penghafal Al Qur’an. Atas kenyataan ini Yahudi merasa terancam. Mereka mengerti bahwa anak-anak yang sudah hafal Al Qur’an di usia dini, kelak akan menjadi anak yang hebat di masa dewasanya. Kaum Yahudi sudah melihat kenyataan, bahwa tentara HAMAS tidak terkalahkan karena kekuatan mereka terletak pada syarat mereka yang mengharuskan personelnya hafal 30 Juz Al Qur’an. Atas kenyataan itu, Yahudi telah menewaskan warga sipil yang 75% terdiri dari anak-anak dan wanita.[5]

Beberapa kenyataan tersebut membuat kita yakin bahwa ada banyak manfaat dalam menghafal Al  Qur'an dan pengaruhnya terhadap kecerdasan seseorang. Apalagi jika dilakukan sejak usia dini, karena daya rekam pada anak masih sangat kuat. Dengan demikian, sebaiknya kurikulum pendidikan kita mencontoh bagaimana generasi terbaik umat Islam ini melakukannya. Inilah yang membedakan kurikulum umat Islam dengan non-Islam, kita harus bisa konsisten melestarikan keistimewaan pendidikan dalam Islam. Kita semakin paham, bahwa mendahulukan anak untuk menghafal Al Qur'an adalah kebutuhan dalam sistem pendidikan kita. Kebutuhan yang sangat mendesak.
--
Akhukum fillah, Achmad Tito Rusady, ghofarollahu lahu…
Malang, 27 May 2015. Di seperempat Sya’ban 1436 H.

Footnote:
_____________________________


[1] Ibnu Qoyim al Jauziyah, al Fawaid, juz 1 (Beirut: Daru al Kutub al Ilmiyah, 1973M/1393H), hlm. 104.
[2]  Abdullah Said Bazumah, Hifzu al Qur’an Awwalu Maratibi al Thalibhttp://www.alukah.net/sharia/0/6790/. Diakeses pada 11/05/2015.
[3] Jamalu al Din, Shifatu as Shofwah, juz 1 (Kairo: Daru al Hadith, 2000M/1421H), hlm. 434.
[4] Ratna Nera, Rahasia Kecerdasan Orang-orang Yahudi: Ambil yang Baik, Buang yang Buruk, Islam Pos, https://www.islampos.com/rahasia-kecerdasan-orang-orang-yahudi-ambil-yang-baik-buang-yang-buruk-9823/. Diakses pada 09/05/2015.
[5] Hanifah Qomariah, Mengapa Israel Takut dengan Penghafal Al-Quran?,

Komentar

  1. kalo di sd islam al umm memang seperti itu, anak2 yg punya hafalanya banyak dan kuat berbanding lurus dengan mudahnya mereka memahami pelajaran yang lain

    BalasHapus
  2. Semoga SD Islam Al Umm mencetak generasi ulama... Allahumma amin.. :).

    BalasHapus

Posting Komentar