Tinggalkan Dia karena Allah


            Wahai Saudariku, jika ada seorang lelaki yang datang kepadamu atas nama cinta, bukan atas nama khitbah (lamaran) atau menikah, maka ketahuilah dia adalah lelaki yang tidak serius dalam cintanya. Dia adalah lelaki yang menyatakan cinta bukan dengan prosedur dan tata cara dalam agama kita.

            Maka, tinggalkanlah dia. Meski dia mengikatmu dengan janji-janji. Ketahuilah, bahwa dirimu adalah kaum yang tidak butuh janji akan tetapi bukti. Engkau adalah kaum yang hanya ingin kepastian, bukan bualan-bualan. Maka, sudah saatnya engkau tinggalkan dia. Lelaki yang baik nan sholeh tidak akan memberimu janji, akan tetapi bukti. Lelaki yang sholeh tidak akan mendekatimu kecuali melalui orang tuamu.


            Mintalah bantuan saudara laki-lakimu, atau ayahmu, karena biasanya dalam perkara ini engkau akan diliputi perasaan yang berat. Engkau sejatinya tahu bahwa hubungan laki-laki dengan wanita sebelum menikah adalah haram. Akan tetapi kadang, perasaanmu lebih mendominasi sehingga teman lelaki itu tetap engkau pertahankan. Jika keadaannya seperti ini, mintalah bantuan saudara lelakimu atau ayahmu untuk menyelesaikan masalahmu, dengan ijin Allah taa’ala mereka mampu menyelesaikannya.

            Tinggalkanlah dia karena Allah ta’ala. Tinggalkanlah dia karena engkau menginginkan cinta yang hakiki, cinta yang abadi, yaitu cinta Ilahi. Berusahalah engkau melakukakannya karena Allah ta’ala, maka janji Allah ta’ala akan engkau dapatkan,

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا للهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

"Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah 'Azza wa Jalla, kecuali Allah akan menggantikannya bagimu dengan yang lebih baik bagimu" (HR Ahmad no 23074)

            Kupersembahkan sebuah kisah yang diceritakan Syaikh At-Thanthawi, semoga menjadi penguatmu:

Syaikh At Thanthawi –rahimahullah- menceritakan sendiri kisah menakjubkan ini, “Ada sebuah masjid di Damaskus yang bernama Jami’ut Taubah. Masjid ini dinamakan Jami’ut Taubah karena dulunya adalah sebuah hotel yang terdapat di dalamnya berbagai macam kemaksiatan. Pada abad ke tujuh hijriyah, seorang raja membeli tempat itu lalu dihancurkan, kemudian didirikan masjid. Di dalam masjid itu ada seorang syaikh yang sudah tua, usianya bekisar 70-an, ia adalah seorang guru, namanya Syaikh Salim Al Miswati. Beliau sangat dipercaya oleh masyarakat di kota itu karena kefaqihannya dalam ilmu agama. Orang-orang sering datang untuk berkonsutasi masalah agama maupun dunia.

Syaikh ini memiliki murid yang sholeh, namun sangat fakir. Meski keadaannya demikian ia memiliki wibawa yang tinggi, membuatnya terjaga dari hinanya meminta-minta. Ia tinggal di sebuah ruangan di dalam masjid. Dan suatu hari pemuda ini pernah tidak makan selama dua hari. Ia tidak memiliki makanan atau uang untuk membeli makanan. Sampailah di hari yang ketiga, ia menderita rasa lapar yang hebat. Perutnya melilit, sampai ia merasa bahwa ajal sudah dekat karena dahsyatnya rasa lapar. Ia berpikir keras bagaimana agar bisa makan. Sampai pada taraf bahwa ia merasa boleh makan bangkai atau mencuri makanan, agar dapat menyambung hidupnya.

Aku mengetahui kisah ini –kata Syaikh Thanthawi-. Aku mengetahi siapa saja orang-orangnya, dan aku mengetahui rincian kejadiannya. Aku hanya meriwayatkan kisah si pemuda, dan aku tidak menghukumi apakah tindakannya itu benar ataukah salah.

Di sekitar masjid Jami’ut Taubah ada banyak rumah penduduk, tembok dan atap rumah-rumah mereka saling berdempetan. Seseorang bisa berjalan dari rumah ke rumah melalui atap-atap rumah. Sang pemuda pun mulai naik dan berjalan dari satu atap rumah ke atap rumah lainnya. Dan sampailah pada suatu rumah, yang di dalam rumah itu ada seorang wanita yang sedang tidur. Pemuda ini sempat tergoda karena melihat wanita itu, namun tak lama kemudian bergegas menundukkan pandangannya serta menjauhinya.

Kemudian sang pemuda meneruskan langkahnya, hingga ia mendapati sebuah aroma makanan yang lezat dari suatu ruangan. Layaknya magnet yang kuat, pemuda ini ditarik oleh aroma itu. Di dalam ruangan itu ada sebuah panci yang terdapat beberap terong rebus. Dari sanalah aroma itu bersumber. Lekas saja sang pemuda mengambil satu buah terong. Ia pun mulai menggigit terongnya. Namun saat terong itu sudah ingin ditelannya, tiba-tiba ia tersadar akan perbuatannya, seraya bicara dalam dirinya, “Aku berlindung kepada Allah! Aku ini seorang penuntut ilmu yang tinggal di masjid! Lalu aku masuk rumah orang tanpa ijin pemiliknya dan mencuri apa yang ada di dalamnya?!”. Ia pun langsung melepah kunyahan yang tidak sempat ia telan, ia membenci apa yang sudah ia lakukan, ia menyesal dan beristighfar.

Kemudian sang pemuda meninggalkan rumah beserta terongnya, dalam kondisi yang sama seperti sebelum masuk rumah itu, yakni rasa lapar yang sangat. Sang pemuda pun kembali ke masjid, dan duduk di majelis gurunya. Ia sudah tidak bisa lagi berkosentrasi mendengar apa yang dikatakan gurunya, karena beratnya lapar yang dideritanya. Ketika majelis usai, dan orang-orang pun bubar.

Datanglah seorang wanita berhijab sempurna. Ia datang dan bicara dengan syaikh, sebuah pembicaraan yang serius. Selesai pembicaraan, syaikh menoleh ke sekitar. Ia tidak mendapati seseorang kecuali pemuda sholeh tadi. Syaikh kemudian memanggilnya dan bertanya,
“Apakah kamu sudah menikah?”.
Si pemuda menjawab, “belum!”.
“Apakah kamu mau menikah?” tanya syaikh menawarkan. Pemuda itu pun terdiam, tidak menjawab.
“Jawablah, kamu mau menikah?” ulang syaikh.
Sang pemuda mulai menjawab, “Wahai tuan guru, aku ini fakir! Sepotong roti pun aku tak punya, bagaimana aku bisa menikah?”.
“Ketahuilah Nak, wanita ini mengabarkan kepadaku bahwa suaminya telah wafat, dan dia adalah orang asing di kota ini. Ia tidak punya siapa-siapa lagi kecuali pamannya yang sudah renta. Dia ada di sini bersama pamannya. Wanita itu memiliki warisan rumah dan harta suaminya. Ia menginginkan seorang laki-laki yang sholeh, yang taat kepada Allah dan rasulNya. Agar ia tidak sendiri lagi, dan agar tidak terjatuh dalam perzinahan. Apakah kamu mau menikah dengannya?”
Pemuda itu menjawab, “Ya, saya mau!”.

Syaikh juga menanyakan si wanita, “Apakah Anda menerima dia sebagai suami Anda?”. Wanita itu menjawab, “Ya”. Syaikh kemudian memanggil pamannya, dan menghadirkan dua orang saksi. Akad nikah pun dilangsungkan. Syaikh membantu si pemuda untuk membayar maharnya. Selesai akad nikah syaikh berkata, “Peganglah tangan istrimu”. Mereka pun saling berpegangan tangan. Sang istri menuntunnya ke rumah. Tatkala mereka sampai di rumah, wanita ini membuka cadarnya. Sang pemuda terkejut, ternyata ia adalah wanita yang sangat cantik jelita lagi masih terlihat muda. Dan tak kalah mengejutkan lagi, rumah yang ia masuki adalah rumah yang tadi ia satroni. Sang isteri bertanya, “Engakau mau makan wahai suamiku?”. Si pemuda menjawb, “Ya.” Sang isteri membuka panci yang ada di dapur, ia pun terkejut dan berkata, “Lho! Siapa yang telah memakan makananku ini! Ada seseorang yang telah masuk ke dalam rumahku!”. Sang pemuda itu pun menangis, lalu menceritakan kejadian yang sebenarnya. Sang isteri berkata, “Wahai suamiku, ini adalah buah dari amanah. Engkau telah menjaga dirimu dari terong yang masih haram ini, dan Allah ta’ala telah memberikan rumah ini beserta isinya, beserta pula pemiliknya, secara halal!”.
* * * *

Wahai Saudariku, mana yang lebih menentramkanmu, ribuan janji dari lelaki itu, ataukah janji dari Allah ta’ala…

_________________
Cuplikan kisah dari buku, "Ukhti, Jadilah Mawar Berduri". Akhukum fillah, Achmad Tito Rusady, ghofarollahu lahu...

Komentar