Jika bahagia ada pada harta, masihkah
kita bahagia tatkala harta itu hilang dicuri? Jika bahagia ada pada dia yang engkau
cintai, masihkah bahagia itu ada tatkalah dia pergi? Jika bahagia
ada pada tempat-tempat yang mahal dan berkelas, masihkah bahagia itu ada
tatkala kita tak berkesempatan pergi ke sana lagi?
Tapi jika bahagia itu ada di hati,
siapa yang akan mencuri? Siapa yang akan merusak dan membakarnya? Jawabannya, tidak ada yang bisa mencurinya. Karena bahagia telah berada di tempat yang kuat dan aman. Kemana saja engkau pergi, bahagia
akan tetap bersamamu mengikuti. J
Mungkinkah kebahagian itu bisa terpatri di dalam hati?
Sungguh indah perkataan syaikh Ibnu Taimiyah, meski dalam cobaan yang bertubi-tubi, suatu hari
beliau berkata:
ما يصنع أعدائي بي أنا جنتي وبستاني في صدري
“Apa yang dilakukan musuh-musuhku terhadapku?
Syurgaku dan tamanku ada di dalam dadaku.”
أين رحت فهي معي لا تفارقني
“Kemana
saja aku pergi selalu bersamaku dan tidak akan berpisah denganku.”
أنا حبسي خلوة
“Jika
aku dipenjara maka aku bisa bersendirian dengan Tuhanku.”
وقتلي شهادة
“Jika
mereka membunuhku maka aku akan syahid. “
وإخراجي من بلدي سياحة
“Jika
mereka mengusirku maka itu tamasyaku”
(Ghidza’u Al Albab fi Syarh Manzhumatu Al Aadaab,
Syaikh Muhammad bin Ahmad bin Salim As Safarini.)
Maka, bahagia tak boleh bersandar pada
makhluk, agar bahagia tidak hilang bersamaan dengan hilangnya makhluk. Sandarkan bahagia
kepada Allah ta'ala, karena Dia Maha Abadi.
Ibrahim
bin Bisyar As Shufi berkata: Aku keluar bersama Ibrahim bin Adham, Abu Yusuf Al Ghashuli dan Abu Abdillah
Assakhowi, kami ingin ke Iskandariyah melewati sebuah sungai yang bernama Sungai Al Ardan, disana kami duduk dan beristirahat sejenak. Sembari merehatkan badan yang lelah
karena perjalanan, Abu Yusuf mengeluarkan beberapa potong roti kering dan
membagikannya kepada kami.
Kami pun
memakannya, kami merasakan nikmatnya roti itu dan kami memuji Allah. Aku berdiri hendak
mengambil air di sungai yang jernih itu untuk kuberikan kepada Ibrahim, akan
tetapi Ibrahim bergegas turun sendiri ke sungai dengan riangnya, ia mengambil
air dengan dua tangannya lalu membaca bismillah dan meminumnya, “Alhamdulillah”,
ucapnya penuh penjiwaan. Kemudian ia mendekat pada kami dan duduk sambil menselonjorkan kedua kakinya. Di sela-sela menikmati
merdunya gemercik sungai, Ibrahim menyegarkan kami dengan kalimat-kalimat
hikmahnya, “Wahai Abu Yusuf seandainya para raja dan anak-anaknya tahu
kebahagiaan dan kelezatan yang kita rasakan sekarang ini, pastilah mereka akan
menguliti kita dengan pedang-pedang mereka karena iri”. (Tarikh Dimasq, Ibnu Asakir)
_____________________
Akhukum fillah, Ahcmad Tito Rusady.
Komentar
Posting Komentar