Dan Semut Pun Bertasbih


Kali ini kita coba mendulang hikmah dari kawanan semut yuk. Hewan yang satu ini ada di mana-mana lho. Pepatah mengatakan, “Dimana ada gula, di situ ada semut”. Di rumah ada semut, di kantor ada semut, di sekitarmu banyak semut, berarti kamu manis donk… ^_^.



Sebel nggak kalau di mana-mana ada semut? Naro donat kesukaan di atas meja, ditinggal lima menit udah diserbu semut. Duduk bersila lama-lama, kaki jadi kesemutan, he… he… he… Ada apa sih dengan semut? Yuk kita pelajari sambil duduk manis. Tapi jangan terlalu manis.. ^_^.


Suatu kali Nabi Sulaiman bersama bala tentaranya melakukan suatu perjalan, dan sampailah mereka di suatu lembah yang terdapat rumah semut. Kisah ini terdapat dalam firman Allah ta’ala dalam surat An Naml (Semut) ayat 18-19:

“Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari"; maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu.”

Mengapa Nabi Sulaiman tersenyum dan tertawa mendengar perkataan salah seekor semut itu? Karena beliau merasa takjub dengan apa yang dikatakan oleh semut tersebut[1]. Terbayang nggak kalau kita mendengar sendiri pembicaraan semut? Pasti ikut senyum juga. Kayak apa ya suaranya? Hehe..

Lalu Nabi Sulaiman berdo’a kepada Allah ta’ala agar ditunjukkan bagaimana cara bersyukur yang benar atas nikmat Allah ta’ala yang diberikan kepadanya, yaitu berupa mu’jizat bisa mendengar bahasa hewan, seraya berkata[2]:

Dan dia berdoa: "Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh".




Hewan yang Tak Berakal
         
Semut diciptakan oleh Allah dengan banyak kelebihan seperti; kerjasama, kekompakan, dan kecerdasan. Yang dimaksud dengan kecerdasan di sini bukanlah karena hewan tersebut punya akal, akan tetapi semua hewan yang ada di muka bumi ini diberi ilham oleh Allah ta’ala untuk berbuat banyak hal dalam bertahan hidup[3]. Sehingga hewan-hewan itu bekerja karena ilham dari Allah ta’ala. Dengan demikian rasa takjub kita pun kembali kepada Allah ta’ala yang telah mengilhami mereka untuk dapat bertahan hidup sepeti atau bahkan lebih teratur dari manusia. Subhanallah…

          Di antara “kecerdasan” semut itu adalah[4]:

1.     Semut memiliki dua jalur yang berlainan, satu jalur untuk pasukan pembawa makanan, dan satu jalur lagi untuk pasukan yang baru berangkat untuk mencari makanan. Masing-masing pasukan tidak akan salah dalam memilih dan berjalan di jalurnya.

2.     Jika yang mereka bawa adalah biji-bijian, maka biji-bijian itu terlebih darhulu dipecahkan supaya tidak tumbuh di dalam tanah. Dan jika biji-bijian itu basah karena embun atau air, maka semut-semut menjemurnya terlebih dahulu di sekitar pintu sarang mereka, setelah kering mereka bawa ke dalam sarang.

3.     Semut selalu membuat rumah di tempat yang tinggi supaya air tidak masuk ke dalam sarang mereka.

4.     Semut tidak suka sifat khianat. Dikisakan dari salah seorang bijak, “Aku melihat ada seekor semut menemukan belalang mati. Lalu ia berusaha untuk mengangkatnya akan tetapi tidak mampu. Semut itu pun pergi dan tidak lama kemudian ia kembali dengan beberapa teman. Akan tetapi belalang itu terlebih dahulu aku singkirkan, sehingga mereka tidak menemukan apa pun di tempat belalang itu berada. Kemudian teman-temannya kembali. Lalu kuletakkan kembali belalangnya. Seekor semut itu menemukannya kembali. Akan tetapi dia tidak kuat memikulnya. Dan kembali ia memanggil teman-temannya, akan tetapi belalang itu sudah ku angkat sehingga mereka tidak mendapatinya untuk yang kedua kalinya. Sampai yang ketiga kalinya terulang seperti itu, teman-temannya meletakkannya di tengah. Sekumpulan semut itu mengelilinginya, lalu menahannya, dan mereka pun memotong-motong tubuh semut itu sampai mati.[5]

Takjub sekaligus ngeri ya… Tetapi begitulah sekwanan semut. Walau sedemikian hebat dan ngerinya, ternyata tidak mereka gunakan untuk mengalahkan manusia. Andai saja semut bisa berpikir seperti manusia, niscaya semut-semut itu menyerang kita dengan kekuatan yang mereka miliki dari jumlah dan kerjasama mereka. Satu atau dua ekor saja ditugasi komandan mereka untuk masuk ke telinga kita dan merusak apa yang ada di dalamnya, niscaya kita sudah kalah. Subhanallah… Maha Suci Allah, yang tidak menyia-nyiakan ciptaanNya.


Dan Semut pun Bertasbih

"Seekor semut menggigit seorang Nabi. Lalu, Nabi tersebut memerintahkan supaya perkampungan semut itu dibakar. Lalu Allah Ta'ala mewahyukan kepada Nabi tersebut: Hanya seekor semut yang menggigitmu, (kenapa) engkau membakar satu umat dari umat-umat yang bertasbih? " [Shahih Bukhari (3309), Shahih Muslim (2241)]


Allah ta’ala berfirman:

“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun” (QS. Al Isra’:44).

Syaikh Abdurrahman As Sa’di menafsirkan, “Semua makhluk Allah baik manusia, hewan, tumbuhan, benda hidup dan benda mati, semuanya bertasbih kepada Allah, akan tetapi bahasa tasbih mereka tidak sama dengan tasbihnya manusia”.[6]

Nah, semut kecil seperti itu saja bertasbih kepada Allah, mengapa kita tidak bertasbih kepadaNya? Kita pun malu pada semut-semut itu ketika kita malas bertasbih kepadaNya.

Lalu, bagaimana jika semut-semut itu mengganggu? Apakah boleh membunuhnya? Bagaimana cara membunuhnya? Insya Allah disambung dengan artikel “Jangan Bunuh Semut”.


Hadanallahu waiyyakum ajma’in.
Oleh : Achmad Tito Rusady, ghofarollahu lahu. Di pertengahan Rajab 1437 H.




[1] Abul Muhammad Al Husain ibn Mas’ud Al Baghawi, “Tafsir Al Baghawi”, (Daar An Nasyr Wa At-Tawzi’, 1997), jilid 6, hlm. 152.
[2] Ibnu Al Qoyyim, “Miftahu Daar As Sa’aadah”, (Mesir: Daru Al Jauzy, 2012), hlm. 334.
[3] Ibid, Ibnul Qoyyim, hlm. 335.
[4] Ibid, Ibnul Qoyyim, hlm. 334.
[5] Ibid, Ibnul Qoyyim, hlm. 334.
[6] Abdurrahman bin Nashir bin Abdillah As Sa’di, “Tafsir As Sa’di”, (Muassatu Risalah, 2000. Maktabah Syamilah), jilid 1, hlm. 458.

Komentar