Teman yang Jujur

Disampaikan pada jam pertama PKPBA UIN Maulana Malik Ibrahim Malang


من قلّ صدقه ، قلّ صديقه
“Siapa yang sedikit kejujurannya, maka sedikit pula temannya”

         Hasil gambar untuk teman jujur
“Sulitnya mencari orang-orang jujur di jaman sekarang!”. Sering kita mendengar pernyatan seperti itu, bukan? Benarkah kenyataannya demikian? Bisa jadi benar tetapi bisa jadi tidak. Sulit mencari orang jujur dikarena semua orang mencari orang jujur. Atasan mencari karyawan yang jujur, dan karyawan mencari atasan yang jujur. Jika semua mencari, lalu siapa yang dicari? Tetapi tidak sulit bagi orang yang  memulai dari dirinya untuk menjadi orang yang jujur.


          Namun kenyataannya di jaman sekarang, menjadi orang jujur menjadi tantangan. Tahun 2011 seorang anak SD Gadel 2 Surabaya dipaksa mengikuti sistem contek massal saat ujian nasional. Pasca ujian, sang anak memberitahukan kepada ibunya. Ibunya melaporkan kecurangan itu ke Dinas Pendidikan di Surabaya. Dinas Pendidikan pun memutasi oknum guru dan kepala sekolah yang dianggap terlibat dalam kasus tersebut. Akibatnya warga yang sebagian besar merupakan para wali murid SD tersebut tidak terima, bahkan berunjuk rasa, dan menuntutnya meminta maaf kepada warga secara terbuka. Dan naasnya warga mengusir Ibu dan anaknya dari kampungnya. Seperti cerita dongeng, akan tetapi itu nyata!

          Dari fenomena tersebut, apakah kemudian pepatah di atas menjadi tidak berlaku? Justru yang jujur malah dimusuhi? Jawabannya adalah tentu tidak. Karena redaksi dalam ungkapan itu adalah shodiq. Padahal ada kata lain seperti shohib, zamil, dan seterusnya yang semakna dengan teman. Hal itu karena kata shodiq  satu akar kata dengan shidqu. Sehingga shodiq dimaknai sebagai teman yang bersifat jujur. Dialah teman sejati. Teman yang membenarkan (memperbaiki) kita, bukan yang membenar-benarkan kita ketika kita salah. Sebagaimana dalam ungkapan:

صديقك من صدقك و لا من صدّقك
“Teman (yang shodiq) adalah yang membenarkanmu, bukan yang membenar-benarkanmu”
         
          “Eh gimana ya kalau aku nggak masuk kelas hari ini? Aku semalam begadang kurang tidur!”.
          “Iya nggak apa-apa fren, sekali-kali nggak masuk kuliah. Kamu kan terlalu rajin gitu lho…”

          Nah, itu contoh teman yang membenar-benarkan. Kita tidak ingin memiliki teman seperti itu kan? Tentu tidak. Walaupun jumlah teman seperti itu ada seribu orang. Kita akan tetap merasa sendiri dan hidup kita tidak akan pernah tenang. Terlebih lagi ketika kita dalam keadaan terpuruk, hanya teman sejati dan yang jujurlah yang tetap bersama kita. Maka kisah tragis di atas tadi, ibu dan anak yang jujur itu dijauhkan dari teman-teman yang tidak senang kejujuran, kemudian akan menemukan teman-teman yang setia, yang jujur.

          Walaupun kejujuran sedemikian pahit seperti yang dialami ibu dan anaknya tersebut, buah dari kejujuran selalu manis. Bukankah setelah peristiwa tersebut, ibu dan anaknya itu memiliki predikat jujur? Pasti itu akan diakui, mau tidak mau, walau oleh orang-orang yang mengusirnya sekalipun. Dunia pasti akan mengakui, cepat atau lambat, bahwa mereka adalah orang jujur. Dan Bapak Presiden pun akhirnya memberi penghargaan kejujuran kepada mereka. Bisa dibayangkan jika ibu atau anaknya ini akan membuka bisnis, tidakkah orang-orang akan merasa aman bertransaksi dengan mereka?

          Demikianlah yang pernah dicontohkan oleh Nabi Kita Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam, seseorang yang bergelar Al Amin. Mengingatkan kita akan peristiwa sengketa peletakan Hajar Aswad setelah Ka’bah direnovasi. Orang-orang Quraisy bertikai dan berebut ingin meletakkan Hajar Aswad selama enam hari lamanya. Hingga salah seorang tokoh dari mereka berkata, “Cukup! Jadikanlah penengah di antara kalian ini adalah orang yang pertama kali datang di tempat ini besok pagi!”.

          Esoknya semua berlomba mendatangi Ka’bah di pagi buta. Akan tetapi mereka telah didahului oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam, dan mereka pun berteriak, “Hadza Al Amiin, Hadza Muhammad, Radhiinaa…”. (Ini orang terpercaya, ini Muhammad, kami rela). Mereka pun relah beliau menjadi penengah di antara mereka. Andai mereka tidak rela, mereka pasti sudah menyakiti beliau, agar mereka menjadi yang pertama datang di tempat itu. Akan tetapi sifat kejujuran dan amana beliau telah membuat hati siapa saja bersimpati padanya.  

:: Mendidik Kejujuran
Pada suatu hari Dr. Arun Gandhi cucu dari mendiang Mahatma Gandhi pernah menceritakan satu kisah dalam hidupnya yang sungguh mengesankan.


“Kala itu usia saya kira-kira masih 16 tahun dan saya tinggal bersama kedua orang tua di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya Mahatma Gandhi, Kami tinggal disebuah perkebunan tebu kira-kira 18 mil jauhnya dari kota Durban, Afrika Selatan. Rumah kami jauh di pelosok desa terpencil sehingga hampir tidak memiliki tetangga. Oleh karena itu saya dan kedua saudara perempuan saya sangat senang sekali bila ada kesempatan untuk bisa pergi ke pusat kota, untuk sekedar mengunjungi rekan atau terkadang menonton film di bioskop.

Pada suatu hari kebetulan ayah meminta saya menemani beliau ke kota untuk menghadiri suatu konferensi selama seharian penuh. Bukan main girangnya saya saat itu. Karena ibu tahu kami hendak ke kota maka ibu menitipkan daftar panjang belajaan yang ia butuhkan, disamping itu ayah juga memberikan beberapa tugas kepada saya, termasuk salah satunya adalah memperbaiki mobil di bengkel.

Pagi itu setelah kami tiba ditempat konferensi. Ayah berkata kepada saya, ” Arun, jemput ayah disini ya, nanti jam 5 sore. Dan kita akan pulang bersama-sama”. “Baik ayah, saya akan berada disini tepat jam 5 sore”, jawab saya dengan penuh keyakinan.

Setelah itu saya segera meluncur untuk menyelesaikan tugas yang dititipkan ayah dan ibu kepada saya satu persatu. Sampai akhirnya hanya tinggal satu pekerjaan yang tersisa yakni menunggu mobil selesai dari bengkel. Sambil menunggu mobil diperbaiki tidak ada salahnya aku pikir untuk mengisi waktu senggangku dengan pergi ke bioskop menonton sebuah film. Saking asyiknya nonton ternyata saat saya melihat jam; waktu sudah menunjukkan pukul 17.30, sementara saya janji menjemput ayah pukul 17.00. Segera saja saya melompat dan buru-buru menuju bengkel untuk mengambil mobil, dan segera menjemput ayah yang sudah hampir satu jam menunggu. Saat saya tiba sudah hampir pukul 18.00 sore.

Dengan gelisah ayah bertanya pada saya, “Arun! kenapa kamu terlambat menjemput ayah?”. Saat itu saya merasa bersalah dan sangat malu untuk mengakui bahwa saya tadi keasyikan nonton film, sehingga saya terpaksa berbohong dengan mengatakan, ” Maaf Ayah… Tadi mobilnya belum selesai di perbaiki sehingga Arun harus menunggu.”

Ternyata tanpa sepengathuan saya , ayah sudah terlebih dahulu menelpon bengkel mobil tersebut, sehingga ayah tahu jika saya berbohong. Lalu wajah ayah tertunduk sedih, sambil menatap saya ayah berkata, ”Arun sepertinya ada sesuatu yang salah dengan ayah dalam mendidik dan membesarkan kamu, sehingga kamu tidak punya keberanian untuk berbicara jujur kepada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, biarlah ayah pulang dengan berjalan kaki, sambil merenungkan dimana letak kesalahannya.”

Lalu dengan tetap masih berpakaian lengkap ayah mulai berjalan kaki menuju jalan pulang kerumah. Padahal hari sudah mulai gelap dan jalanan semakin tidak rata. Saya tidak sampai hati meninggalkan ayah sendirian seperti itu; meskipun ayah telah ditawari naik, beliau tetap berkeras untuk terus berjalan kaki, akhirnya saya mengendarai mobil pelan-pelan dibelakang beliau, dan tak terasa air mata saya menitik melihat penderiataan yang dialami beliau hanya karena kebohongan bodoh yang telah saya lakukan. Sungguh saya begitu menyesali perbuatan saya tersebut.

Sejak saat itu seumur hidup, saya selalu berkata jujur pada siapapun. Sering sekali saya mengenang kejadian itu dan merasa begitu terkesan, seandainya saja saat itu ayah menghukum saya sebagai mana pada umumnya orang tua menghukum anaknya yang berbuat salah, kemungkinan saya akan menderita atas hukuman itu, dan mungkin hanya sedikit saja menyadari kesalahan saya. Tapi dengan satu tindakan mengevaluasi diri yang dilakukan ayah, meskipun tanpa kekerasan justru telah memiliki kekuatan yang luar biasa untuk bisa mengubah diri saya sepenuhnya. Saya selalu mengingat kejadian itu seolah-olah seperti baru terjadi kemarin. [http://ayahkita.blogspot.co.id/2009/04/apa-yang-salah-dari-saya-mengapa-anak.html]. 

Jujur bukan ajur! Tapi jujur itu mujur, Berani?







Komentar

  1. jazakumullahu khairan katsiro wahai Ustadzku atas ilmunya selama ini meskipun aku sampai saat ini masih belum bertemu dengan engkau secara langsung hanya melalui udara tapi engkau telah berjasa buatku.
    Terima kasih Ustadz Tito Rusady semoga Allah membalas setiap kebaikan yang engkau lakukan

    BalasHapus
  2. jazakumullahu khairan katsiro wahai Ustadzku atas ilmunya selama ini meskipun aku sampai saat ini masih belum bertemu dengan engkau secara langsung hanya melalui udara tapi engkau telah berjasa buatku.
    Terima kasih Ustadz Tito Rusady semoga Allah membalas setiap kebaikan yang engkau lakukan

    BalasHapus

Posting Komentar