(Kajian
Fenomenologi dalam verbal abuse)
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Filsafat
Bahasa
Dosen
Pembimbing:
Prof.
Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si
Oleh: Achmad Tito Rusady, S.S., M.Pd
A. Defenisi Kekerasan Verbal
Verbal abuse (also known as reviling) is
described as a negative defining statement told to the victim or about the
victim, or by withholding any response, thereby defining the target as
non-existent. If the abuser does not immediately apologize and retract the
defining statement, the relationship may be a verbally abusive one.[1]
Kekerasan kata-kata (verbal abuse) adalah
semua bentuk tindakan ucapan
yang mempunyai sifat menghina, membentak,
memaki, memarahi dan
menakuti dengan mengeluarkan kata-kata yang
tidak pantas.[2]
B. Tujuan Penghinaan dan Cercaan kepada Rasulullah shallallahu’alayhi
wasallam
و القصد من ذلك
تخذيل رسول الله صلى الله عليه و سلم و المسلمين، و توهين قواهم المعنوية، فكانوا
يتهمون رسول الله صلى الله عليه و سلم بأنه رجل مسحور، شاعر مجنون، كاهن يأتيه
الشيطان، ساحر كذاب، مفتر متقول، وغير ذلك من التهم و الشتائم.
Tujuan dari menghina dan mencaci adalah untuk menggagalkan dakwah
Rasulullah shallallahu’alayhi wasallam dan melemahkan kaum muslimin. Mereka
menuduh Rasulullah shallallahu’alayhi wasallam sebagai orang yang terkena
sihir, penyair gila, dukun yang sedang kesurupan, penyihir yang berdusta,
pembual dan lain sebagainya dari bentuk cacian dan hinaan.[3]
C. Bentuk-bentuk Kekerasan Verbal Kaum Quraisy
Kekerasan Verbal Persepsi
Mereka berkata kepada Abu Thalib, “Sesungguhnya keponakanmu telah mencaci
tuhan-tuhan kami, menjelek-jelekkan agama kami, membodoh-bodohi akal-akal kami,
dan menyesat-sesatkan orang tua kami. Engkau ingin mencegahnya atau engkau
membiarkan kami yang mengurusinya sendiri. Sesungguhnya engkau juga ada di
pihak kami yang sama-sama menyelisi keponakanmu sendiri”[4]
Kekerasan verbal yang dilakukan oleh
orang-orang Quraisy disebabkan adanya perbedaan persepsi. Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alayhiwasallam adalah utusan Allah ta’ala untuk memperbaiki pola
kehidupan dan agama manusia. Di antaranya adalah menghilangkan paham paganisme
untuk menuju kepada ajaran monoisme, menyembah kepada yang Satu, yaitu kepada
Allah ta’ala semata. Misi samawi ini menjadi berbeda di kalangan masyarakat
Quraisy, sebab bagi mereka menyembah berhala-berhala itu adalah ajaran yang
benar. Oleh karena itu dalam persepsi mereka, Muhammad shallallahu ‘alayhi
wasallam telah melakukan kekerasan verbal terhadap tuhan-tuhan mereka, berupa
hinaan dan pembodohan.
Kekerasan Verbal Kolektif dan Repetisi
Kemudian terjadilah suatu peristiwa yang lebih keras dan
menyakitkan, yaitu ketika kaum Quraisy sedang berkumpul pada suatu hari di
beranda Ka’bah, mereka membicarakan perihal Rasulullah shallallahu ‘alayhi
wasallam. Saat itu tiba Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam hendak
melakukan tawaf di Ka’bah. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam
melewati sekumpulan orang-orang Quraisy itu, mereka mengganggunya dengan
kalimat-kalimat yang jelek. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam merasa
sakit dengan perkataan mereka yang terlihat dari wajah beliau. Begitu
seterusnya kelakuan orang-orang Quraisy itu terulang tatkala Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wasallam melewati mereka. Hingga yang ketiga kalinya,
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam berhenti lalu berkata,
“Dengarlah wahai orang-orang Quraish, demi jiwaku yang ada di tanganNya, aku
datang kemari dan siap menyembelih (leher-leher kaliah, red)”. Orang-orang
Quraisy itu akhirnya terdiam mematung karena ancaman Rasulullah shallallahu
‘alayhi wasallam tersebut, seolah di atas kepala mereka ada burung yang hinggap
dan tenang di atasnya.[5]
Kekerasan verbal yang dilakukan oleh
pemuda-pemuda Quraisy tersebut dilakukan secara kolektif di hadapan objeknya dan berulang. Sebab, biasanya
membincangkan kekurangan dan kejelekan orang lain dilakukan tanpa sepengetahuan
orang yang dibincangkan. Namun pemuda-pemuda Quraisy itu tampak berani
mengulang-ulang perbuatannya padahal objek pembicaraan ada di tempat. Keberaniaan
mereka ini tampak pada pembiaran Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam terhadap perlakuan mereka, saat melakukan tawaf
pertama dan kedua. Dengan dugaan, mungkin pembicaraan mereka itu berhenti
karena yang dibicarakan sedang melintas di hadapan mereka.
Kekerasan verbal secara bersamaan
(kolektif) dan berulang (repetisi) memiliki dampak yang keras terhadap kejiwaan
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam , yang terekspresikan dari wajahnya.
Oleh karenanya beliau melakukan tindakan yang cukup keras berupa ancaman yang
keras terhadap mereka, sebab hinaan tersebut dirasa telah melampaui
kewajaran. Menghadapi kekerasan verbal seperti ini, pembelaan terhadap
kehormatan diri harus dilakukan, sebagai tindakan untuk mengakhiri tindakan
yang tidak terpuji. Sebagaimana yang diungkapkan Robinson-Kiss,
“Siapa pun yang mendapatkan perlakuan buruk, termasuk kekerasan
verbal, harus berani meminta orang lain menghentikan perilaku buruk itu. Pelaku
kekerasan juga punya hak untuk memilih memenuhi permintaan tersebut atau tidak.
“Namun kekerasan verbal bagaimana pun adalah bentuk kekerasan. Anda punya
kekuatan untuk mengakhirinya.”[6]
Kekerasan Verbal Langsung
Ucapan Ummu Jamilah bibi Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam kepada beliau;
إني
لأرجو أن يكون شيطانك قد ترك، لم أره قربك منذ ليلتين، أو ثلاثا
“Sesungguhnya, aku benar-benar berharap syaithanmu
pergi. Sebab aku tidak melihat syaithanmu sejak dua atau tiga hari ini” [7]
Kekerasan Verbal Langsung adalah kekerasan
verbal yang dituturkan oleh penutur kepada lawan tuturnya secara langsung.
Dalam adat istiadat manusia, hinaan dan celaan yang berasal dari kerabat
sendiri itu dampaknya lebih menyakitkan dari pada celaan yang berasal dari
orang lain. Namun dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam memilih
tidak menjawab dan meladeni celaan tersebut. Karena beliau ingin menunjukkan
karakter yang baik kepada kerabat, disertai dengan tetap menjaga kehormatan
diri dengan tidak menanggapi celaan bibi beliau. Sebagaimana yang diungkap oleh
Prof. Dr. Zaid bin Abdilkarim Az Zaid;
Orang yang menghina adalah orang yang
derajatnya lebih rendah. Oleh karenanya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam
dilarang oleh Allah ta’ala turun ke level mereka dengan tidak meladeni
perlakuan mereka. [8]
Di antaranya pula kekerasan verbal langsung
yang serupa dari kerabat beliau adalah perkataan Abu Jahal sebagai berikut:
قال أبوجهل مستهزئا بالرسول صلى الله عليه و سلم: "إن كان هو
الحق من عندك فأمطر علينا حجارة من السماء أو ائتنا بعذاب أليم.
Berkata Abu Jahal menghina keponakannya,
“Jika ajaranmu benar, maka hujanilah kami dengan batu dari atas langit. Atau
datangkanlah kepada kami adzab yang pedih”[9]
Kekerasan Verbal Antitesis
يا معشر قريش تدرون ما شجرة الزقوم التي
يخوفكم بها محمد؟ قالو: لا. قال: عجوة يثرب بالزبد! و الله لئن استمكنا منها لَنَتَزَقُّمَنَّهَا تزقُّما
“Wahai kaum Quraisy, tahukah kalian apa itu
pohon Zaqqum yang ditakut-takutkan Muhammad kepada kalian?”. Orang-orang
Quraisy menjawab, “Tidak tahu”. Abu Jahal melanjutkan, “Yaitu Kurma Ajwah dari
Yatsrib yang dicampur mentega. Demi
Allah jika kalian menikmatinya, niscaya kalian akan menelannya dengan
setelan-telannya”[10]
Kekerasan verbal antitesis adalah bentuk
pemutarbalikkan fakta sebenarnya dari yang telah disebutkan di dalam Al Qur’an
tentang pohon Zaqqum:
”…
Sesungguhnya kami menjadikan pohon Zaqqum itu sebagai siksaan bagi orang-orang
yang dzalim. Sesungguhnya ia adalah sebatang pohon yang keluar dari dasar
neraka jahim. Mayangnya seperti kepala syaitan-syaitan. Maka sesungguhnya
mereka benar-benar memakan sebagian dari buah pohon itu, maka mereka memenuhi
perutnya dengan buah zaqqum itu. Kemudian sesudah makan buah pohon zaqqum itu
pasti mereka mendapat minuman yang bercampur dengan air yang sangat panas.
Kemudian sesungguhnya tempat kembali mereka benar-benar ke neraka jahim”.(QS. As Shaffat:62 – 68 )
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas
dalam kekerasan verbal langsung, seorang yang diharapkan bisa menjadi partner
dalam visi dan misi dari kalangan kerabat, justru berada dalam barisan
orang-orang yang menghina beliau. Namun sikap yang ditampakkan oleh beliau
kepada pamannya adalah sikap mulia dan berwibawa, yaitu tidak membalas hinaan
dan celaannya. Hal ini dikarenakan dua sebab; sebab pertama adalah perintah
sabar, dan yang kedua adalah Allah ta’ala sendiri yang akan membalasnya;
فَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ
الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا ۖ وَمِنْ آنَاءِ اللَّيْلِ فَسَبِّحْ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ
لَعَلَّكَ تَرْضَىٰ
“Maka
bersabarlah kamu terhadap apa yg mereka katakan dan bertasbihlah sambil
memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari & sebelum terbenam(nya)”. (QS. Qaf: 39)
Allah ta’ala, yang telah mengutusnya
mengabarkan kepada beliau,
إنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِئِينَ
“Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari (kejahatan) orang-orang yang
memperolok-olok (kamu)”. ( Al Hijr[15]: 95)
Sebab membalas hinaan dengan hinaan adalah suatu tindakan yang tidak
terpuji, dan juga merupakan perbutan yang populer di kalangan orang-orang berpendidikan rendah serta ekonomi menengah ke bawah, meskipun orang-orang
dengan pendidikan dan ekonomi tinggi juga kerap menggunakannya.[11]
Seorang psikolog Sidney Solah Kirmyan:
فالشتم على العموم يقلل من قدر ومكانة الشخص لدى
المجتمع، لانه يهدف الى ايذاء الاخرين والتقليل من شأنهم والحط من كرامتهم
Perbuatan menghina secara umum akan menurunkan kedudukan seseorang di
masyarakat. Karena tujuan menghina adalah menyakiti orang lain serta menurunkan
harga diri orang lain[12]
Berdasarkan perubahan semantiknya[13], kekerasan
verbal Abu Jahal termasuk dalam kategori disfemisme (pengasaran makna), yaitu mengaburkan
makna sebenarnya kepada makna yang berbanding terbalik dengan makna sebenarnya.
D. Dampak Kekerasan Verbal terhadap Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam
Kekerasan verbal yang dialami Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wasallam lebih keras dampaknya dari pada kekerasan fisik. Oleh
karena itu kaum Quraisy lebih banyak memelangsungkan serangan verbal untuk
menghentikan misi Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam. Hal ini terjadi dikarenakan
kaum Quraisy tidak mampu membalas bukti kebenaran ajaran Rasulullah shallallahu
‘alayhi wasallam, maka tidak ada jalan lain kecuali menghina dan mencerca
lawannya. Dan terkadang dengan perlawanan fisik. [14]
Prof. Dr. Zaid bin Abdilkarim Az Zaid, dalam Fiqh Siroh menggambarkan
bagaimana situasi kejiwaan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam atas
kekerasan verbal tesrebut:
Cacian dan hinaan berupa pencemaran nama baik dan menjadi bahan
tertawaaan sangat menyakiti psikis Rasulullah shallallahu’alayhi wasallam, sampai
Allah ta’ala sendiri memberitakan bagaimana kondisi kondisi psikis Rasulullah
shallallahu’alayhi wasallam dalam firmanNya, “Dan
Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa
yang mereka ucapkan” (QS. Al Hijr: 97)[15]
Dalam sejarah telah tercatat pada suatu perjalanan perang (yaitu
perang Tabuk), ada orang di dalam rombongan tersebut yang berkata, “Kami tidak
pernah melihat seperti para ahli baca Al-Qur’an ini (yang dimaksudkan adalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya), kecuali sebagai
orang yang paling buncit perutnya, yang paling dusta ucapannya dan yang paling
pengecut tatkala bertemu dengan musuh.”
(Mendengar hal ini), ‘Auf bin Malik
radhiyallahu ‘anhu berkata kepada orang tersebut, “Engkau dusta, kamu ini
munafik. Aku akan melaporkan ucapanmu ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam.”
Maka ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu pun
pergi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sebelum ‘Auf
sampai, wahyu telah turun kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (tentang
peristiwa itu). Kemudian orang yang bersenda gurau dengan menjadikan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bahan candaan itu mendatangi beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu sudah berada di atas untanya. Orang
tadi berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami tadi
hanyalah bersenda gurau, kami lakukan itu hanyalah untuk menghilangkan
kepenatan dalam perjalanan sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang-orang yang
berada dalam perjalanan!”
Ibnu Umar (salah seorang sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berada di dalam rombongan) bercerita,
“Sepertinya aku melihat ia berpegangan pada tali pelana unta Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan kakinya tersandung-sandung batu sembari
mengatakan, “Kami tadi hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Lalu
beliau membaca firman Allah ta’ala:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا
كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang
apa yang mereka lakukan itu) tentulah mereka akan menjawab: ”Sesungguhnya kami
hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah terhadap
Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok? Tidak usah kalian
meminta maaf, karena sungguh kalian telah kafir sesudah beriman.” (At
Taubah: 65-66)
Para ‘Ulama mengatakan, “Hinaan dan cercaan kepada Nabi
shallallahu’alayhi wasallam dari para musuhnya adalah perlakuan yang lebih
keras dari apa yang beliau alami di saat perang Uhud; yang Hamzah radhiyallahu
‘anhu terbunuh di sana, dan tujupuluh sahabat lainnya. Jiwa beliau yang mulia
tersakiti dengan hinaan dan cercaan, lebih sakit dari pada tusukan dan pukulan.
Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu’alayhi wasallam memaafkan siapa saja
yang berusaha membunuhnya, akan tetapi tidak ada maaf bagi yang mencaci
beliau”.[16]
E. Simpulan
Kekerasan verbal yang dialami Rasulullah shallallahu’alayhi wasallam lebih keras dampaknya dari pada kekerasan
fisik. Oleh karenanya dampak dari kekerasan itu mempengaruhi kondisi jiwa
beliau, hingga syari’at Islam sampai menetapkan hukum penghinaan dan pelecehan
terhadap Rasulullah shallallahu’alayhi
wasallam adalah kafir (keluar dari agama Islam).
Dengan demikian kekerasan verbal mendapat ancaman
serius, karena dampaknya yang dapat merusak jiwa sekaligus merusak fisik. Oleh
karenanya pelaku kekerasan verbal layak mendapati pencegahan, sebagaimana telah
disebutkan pernyataan Robinson-Kiss di atas.
Dafrat Pustaka
Fazriyati, Wardah, Anda Bisa Mengakhiri Kekerasan Verbal!, famale.kompas.com. NikodemusYudhoSulistyo's
World, Kata-Kata Sumpah Serapah dalam
Naskah Film [Screenplay] ‘Limitless’, http://nikodemusoul.wordpress.com/.
Nurul Azhar, Iqbal,
LOMBA BLOG KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN TINGKAT NASIONAL 2012, KEKERASAN VERBAL
TERHADAP PEREMPUAN DI TAYANGAN TELEVISI,http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com.
Yuni Arsih, Farida, Abstrak "Studi Fenomenologis: Kekerasan kata-kata (verbal
abuse)" pada Remaja, Program Studi
Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
Evans, Patricia, The Verbally Abusive Relationship, Adams Media Corp 1992, 1996, 2010
ابن
الدبيع، حدائق الأنور القسم الأول، ص. 345-346
صفي
الرحمن المباركفوري، روضة الأنوار في سيرة النبي المختار، (مالانج: المعهد العالي
الأئمة، 2011)، 33.
صحيح
البخاري المطبوع مع فتح الباري 8/711، حديث رقم 4950، و تسمية المرأة في الحديث من
من فتح الباري في شرحه للحديث
زيد بن عبد الكريم
الزيد، فقه السيرة، (الرياض: دار التمرية، 1428 هـ)، ص.175
صحيح
البخاري المطبوع من فتح الباري 8/308، حديث رقم 4648.
[1] تفسير ابن كثير 2/318
Komentar
Posting Komentar