(Achmad Tito Rusady, juara satu lomba menulis essay “kalau muslim jangan SEPILIS”,
diselenggarakan oleh ITJ (Indonesia Tanpa JIL) Chapther Malang)
Setelah Indonesia mengalami penjajahan fisik oleh kolonial Belanda
dan Jepang, Indonesia memasuki babak penjajahan baru yang disebut sebagai penjajahan ideologi. Penjajahan ideologi ini berupa penyebaran paham sekuler, plural, dan liberal (SEPILIS).
Bahaya yang ditimbulkan dari serangan
ideologi ini banyak tidak disadari oleh para
korabannya dibandingkan dengan serangan
militer. Tiga paham tersebut disebarkan untuk menjauhkan seorang muslim
dari agamanya. Karena Barat mengerti bahwa sumber kekuatan umat Islam terdapat
pada agamanya.
Hal itu merupakan ancaman berat bagi Barat. Barat mengerti bahwa dengan
memisahkan muslim dari agamanya, kaum muslimin jauh dari Tuhannya. Jika kaum muslimin jauh dari Tuhannya, kaum muslimin akan lemah
karena tidak memiliki tempat bersandar lagi jika ada bahaya yang datang
iba-tiba menghadangnya.[1]
Tentu seorang
muslim tidak ingin bahaya ini menimpa dirinya.
Namun faktanya virus-virus tersebut sudah menjangkiti secara masif dalam tubuh umat Islam,
terutama kaum intelektualnya. Sebagaimana yang disinyalir Adian Husaini dalam
bukunya Virus Libelarilsme di Perguruan Tinggi Islam, dari hasil kuisioner yang
disebarkan ke para mahasiswa di berbagai perguruan tinggi Islam menunjukkan bahwa
virus liberalisme telah menyebar di kalangan mereka.[2]
Sedangkan pluralisme didapati telah menyebar di kalangan mahasiswa tingkat magister.[3]
Dari data ini muncullah pertanyaan besar, perguruan tinggi Islam yang seharusnya
adalah tempat mencetak para pembela Islam mengapa justru berbalik
menjadi tempat lahirnya cendikiawan yang merusak Islam.
Sekularisme: tanah subur tumbuhnya pluralisme
dan liberalisme
Sekularisme
adalah paham yang mendasari semangat untuk memisahkan agama (Islam) dari
berbagai urusan hidup manusia seperti politik, ekonomi, pendidikan dan sosial.[4]
Jika urusan hidup manusia telah dipisahkan dari agama, maka sama artinya
seseorang mengurusi kehidupan dunianya tanpa aturan agama. Kemudian urusan manusia diatur dengan aturan-aturan selain Islam. Inilah yang melatari bangkitnya Barat dan
terpuruknya Islam.[5]
Awal tersebarnya
sekularisme ternyata tidak lepas dari peran mata kuliah filsafat, studi Islam, semantik, hermeneutika dan lain sebagainya yang dipelajari
di perguruan tinggi Islam, yang merupakan produk worldview Barat terhadap Islam yang rasionalis, pluralis, liberalis, sekuler, bahkan atheis.[6] Salah satu contoh bagaimana sudut pandang Barat itu ditawarkan adalah dengan mengangkat tema
tentang kemunduran Islam dari Barat. Hal ini pernah terjadi di salah satu
perguruan tinggi Islam di negeri ini. Sang dosen bermaksud mengarahkan
mahasiswanya mengagumi kemajuan Barat dan mengajak untuk prihatin atas kondisi
Islam yang tertinggal. Di
saat itulah semangat untuk memajukan Islam dikobarkan. Sekilas itikad ini benar, bahwa
siapapun akan bangkit berjuang jika diketahui bahwa kondisi agamanya tertinggal.
Namun
ternyata ada udang di balik batu. Itikad itu hanya digunakan sebagai alat belaka
untuk menghidupkan semangat keterbukaan (esklusifisme). Baginya kemunduran
Islam terjadi karena umat Islam masih berpegang pada ajaran lama. Oleh karena
itu harus ada pembaharuan cara pandang memahami Islam, persis seperti konsep pembaharuan yang didengunkan Nurcholis
Madjid sebagai bapak liberalisme[7]. Di sinilah produk-produk Barat yang beberbicara tentang Islam ditawarkan.
Bagi
mahasiswa yang jauh dari agamanya (baca; sekuler), tawaran ini tampak menjanjikan
karena sebuah silogisme; jika Barat dipandang
sebagai ikon kemajuan, maka sudut pandang Barat terhadap Islam juga menawarkan
kemajuan. Silogisme ini tentu tidak tepat. Sebab berbicara tentang kemajuan
peradaban Barat, maka yang dibahas bukanlah kondisi
kekinian Barat, akan tetapi tentang bagaimana
sebetulnya awal mula Barat menemukan kemajuannya. Dengan demikian secara fakta kita temukan bahwa Barat maju karena Islam. Hidayat
Nataatmadja dalam Krisis Manusia Modern mengatakan, Barat telah merampas ilmu
dan segala kemajuan Islam pada masa keemasan silam, akan tetapi Barat diam dan menyembunyikan
kesalahannya.[8]
Dengan
demikian berbicara ukuran kemajuan
peradaban, berarti berbicara tentang kejayaan umat Islam masa silam, yang pada muaranya ukuran
itu ada pada pemahaman yang benar terhadap Islam, yaitu pemahaman yang dibangun
atas kemurnian Islam yang masih terjaga dari segala penyimpangan. Seorang
orientalis Prof. Dr. Alfred Wiezman, pakar budaya dan sosiologi
secara objektif mengatakan,
“Islam
adalah agama masa depan jika saja orang-orang muslim mau memperbaiki
kehormatannya, karena Islam itu gamblang. Tidak ada pertentangan antara ilmu,
peradaban, dan kemajuan dunia. Mengajak manusia untuk berakal dan berpikir,
serta mengembangkan peradaban, bersih dari irasional dan kontradiktif”.[9]
Sejalan
dengan firman Allah, “Barang
siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya”, (QS. Fathir: 10), maka benarlah apa yang dikatakan Wiezman, bahwa seorang muslim adalah mulia jika kembali kepada Islam. Namun sayang, Islam di akhir jaman ini sedikit atau
banyak telah diciterakan tidak baik oleh banyak oknum yang tidak bertanggung
jawab. Oleh karena itu, agar tidak terjebak pada pemikiran-pemikiran yang
menyimpang, seorang muslim dituntut
untuk mencari kemurnian Islam. Al Zarnuji, penulis kitab masyhur Ta’lim Al
Muta’allim mewasiatkan murid-muridnya untuk mempelajari agama Islam yang murni,
dan menjauhi perkara yang diada-adakan (muhdatsat)[10].
Di jaman itu tahun 620 H adalah tahun sebelum runtuhnya dinasti Abbasiyah, beliau
berpetuah demikian. Terlebih lagi jaman
sekarang, seseorang dituntut untuk berpegang pada kemurnian
Islam. Sama halnya ketika seseorang mencari madu, ia harus mendapatkan madu
yang
murni dan meninggalkan yang palsu. Maka dalam urusan agama tentu lebih diusahakan untuk mencari
ajaran yang murni.
Oleh
karena itu, dengan kembali kepada ajaran Islam yang murni, dengan ijin Allah
taala seseorang tidak akan latah dengan paham SEPILIS yang termasuk muhdtasat dalam agama. Ajaran Islam yang murni itu adalah ajaran Islam dari Rasulullah shallallahu
‘alayhi wasallam, kemudian dipegang teguh oleh para sahabat beliau, lalu
tabi’in, tabi’u at-tabi’in, sampai pada para ulama yang senantiasa
berada dalam framework (manhaj) mereka. Akhirnya hanya dalam manhaj merekalah kita senantiasa berpegang
teguh, sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alayhi
wasallam wasiatkan, “Berpegang tegulah pada sunnahku dan sunnah Khulafa’
Ar Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah-sunnah itu dengan giri
geraham. Dan hindarilah hal-hal baru (dalam soal agama), karena semua yang baru
adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Referensi:
Ibrahim bin
Hammad Ar Rais, Ahmad bin Utsman Al Mazid, Khalid bin Abdillah Al Qosim, ‘Ali
ibn Abdillah As Shalih, Idris bin Hamid, “Al-Madkhal ila At Tsaqofah Al
Islamiyah”, Jami’ah Al Malik Su’ud: Madaaru Al-Wathan li An Nasyr.
Ibrhaim bin
Ismail, Syarh Ta’lim Al-Muta’allim, Daru Al-Kutub Al-Islamiyah
Fahmy Zarkasyi, Hamid. Misykat: Refleksi Tentang Islam Westernisasi dan Liberalisasi, Jakarta Selatan: INSIST, 2012.
Husaini, Adian. “Virus
Liberalisme di Perguruan Tinggi”, Jakarta:
Syakirah, 2009.
Nataatmaja, Hidayat. “Krisis
Manusia Modern”, Surabaya: AL IKHLAS, 1994.
Terjemah
Hadith Arbain An Nawawi, Jakarta Timur: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2008.
Komentar
Posting Komentar