(Oleh: Dr. Achmad Tito Rusady, S.S.,M.Pd)
Bismillahirrahmanirrahim...
Kezhaliman seorang penguasa telah terjadi di masa lalu, di masa tabi’in. Adalah Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqofi, seorang muslim namun
kejam, haus darah, sangat ringan membunuh ulama-ulama di jaman itu. Dalam keadaan seperti itu, bagaimana sikap para
ulama dalam menghadapi Hajjaj? Mari kita lihat perkataan Anas bin Malik
Radhiyallahu ‘anhu, seorang
sahabatsekaligus pelayan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam, yang masih hidup
saat itu.
عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ عَدِىٍّ قَالَ أَتَيْنَا أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ
فَشَكَوْنَا إِلَيْهِ مَا نَلْقَى مِنَ الْحَجَّاجِ فَقَالَ « اصْبِرُوا ،
فَإِنَّهُ لاَ يَأْتِى عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلاَّ الَّذِى بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ ،
حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ » . سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ – صلى الله عليه وسلم
–
Dari Az Zubair bin ‘Adiy, ia berkata, “Kami pernah mendatangi Anas bin
Malik. Kami mengadukan tentang (kekejaman) Al Hajjaj pada beliau. Anas pun
mengatakan, “Sabarlah, karena tidaklah datang suatu zaman melainkan
keadaan setelahnya lebih jelek dari sebelumnya sampai kalian bertemu dengan
Rabb kalian. Aku mendengar wasiat ini dari Nabi kalian shallallahu
‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 7068).
Namun demikian masih ada sebagian orang yang mengusulkan revolusi untuk
menggulingkan Hajjaj bin Yusuf. Bagi mereka, solusi untuk mengakhiri kebiadaban ini adalah
dengan menggulingkan pemimpin yang zhalim itu. Melihat hal itu, Al
Hasan Al Bashri terang-terangan menyampaikan kebenaran, meski berseberangan dengan sebagian kaum
muslimin yang tetap ingin melakukan revolusi.
وقد روي البخاري في «التاريخ الكبير» (7/339) قال: وقال لنا موسى بن إسماعيل-
وفي «التاريخ الأوسط» (2/1075 رقم: 867) قال: حدثنا موسى بن إسماعيل، عن جعفر،
قال: حدثنا مالك بن دينار، قال: لقيت معبداً الجهني بمكة، بعد (فتنة) ابن
الأشعث وهو جريح، وقد قاتل في المواطن كلها، فقال: لقيت الفقهاء والناس، لم أرَ
مثل الحسن، يا ليتنا أطعناه!! كأنه نادم على قتال الحجاج.
Al Bukhari telah meriwayatkan dalam At Tarikh Al Kabir, 7/339 berkata,
“Telah berkata kepada kami Musa bin Ismail dalam At Tarikh Al Ausath, 7/1075.
No: 867, berkata, ‘telah bercerita kepada kami Musa bin Ismail dari Ja’far
berkata, ‘telah bercertita kepada kami Malik bin Dinar berkata, ‘Aku bertemu
dengan Ma’ban Al Juhani di Mekah setelah terjadinya fitnah (revolusi) Ibnu Al
Asy’asy, yang dia adalah dalang (provokator)nya, sehingga terjadilah
pertumpahan darah di seluruh kota. Lalu Ma’ban Al Juhani berkata, ‘Aku
telah banyak bertemu dengan orang-orang faqih dan manusia, belum pernah aku
melihat orang secerdas Hasan Al Bashri, aduhai... sekiranya dulu kami mendengar
nasihatnya!!’. Seakan-akan ia menyesal telah berusaha
menggulingkan Hajjaj”.
وقال الحسن البصري رحمه الله: (اعلم- عافاك الله- أن جور الملوك نقمة من نقم
الله تعالى، ونقم الله لا تلاقى بالسيوف، وإنما تُتقى وتُستَدفع
بالدعاء والتوبة والإنابة والإقلاع عن الذنوب، إن نقم الله متى لقيت
بالسيف كانت هي أقطع. وقيل: سمع الحسن رجلا يدعو على الحجاج، فقال: لا تفعل- رحمك
الله- إنكم من أنفسكم أوتيتُم، (إنما نخاف إِن عُزلَ الحجاجُ أو مات أن تليكم
القردة والخنازير) " آداب الحسن البصري " لابن الجوزي، ص119.
Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata, “Ketahuilah –semoga Allah
menyelamatkanmu- bahwa jahatnya penguasa adalah salah satu adzab Allah. Adzab
Allah ta’ala tidak akan pernah bisa dilawan dengan pedang. Akan tetapi
adzab Allah dapat ditolak dengan doa, taubat, kembali kepada Allah dan
meninggalkan dosa-dosa”.
Dikatakan bahwa Hasan Al Bashri mendengar ada seseorang yang melengserkan
Hajjaj, lalu beliau berkata, “Jangan lakukan itu –semoga Allah
merahmatimu- sesungguhnya Hajjaj itu berasal dari perbuatan kalian, kita takut
jika dia lengser atau mati, maka yang memimpin kalian adalah monyet atau babi”. (Adaab
Al Hasan Al Bashri, li Ibnil Jauzi, hlm. 119).
>>> Islam Beda karena Tinggi
Jika Barat memandang bahwa rakyat yang rusak adalah
karena pemimpin yang rusak, maka tentunya Islam tidak memandangan demikian.
Karena Islam itu tinggi dan
tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya[1].
Di dalam Islam, pemimpin yang buruk itu terjadi karena masyarakatnya yang buruk. Sebagaimana
Allah ta’ala berfiman:
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Dan demikianlah, kami jadikan sebagian orang dzhalim menguasai/ memimpin
orang dzhalim yang lain disebabkan perbuatan mereka (Q.S al-An’am:129).)
Sahabat Nabi Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma menyatakan:
إِذَا رَضِيَ اللهُ عَنْ قَوْمٍ وَلَّى أَمْرَهُمْ خَيِارَهُمْ، إِذَا سَخِطَ
اللَّهُ عَلَى قَوْمٍ وَلَّى أَمْرَهُمْ شِرَارَهُمْ
Jika Allah meridhai suatu kaum, Allah akan jadikan pemimpin untuk mereka
adalah orang terbaik di antara mereka. Jika Allah murka pada suatu kaum,
Allah jadikan pemimpin mereka adalah orang terburuk di antara mereka (Tafsir
al-Qurthuby (7/855).
Allah ta’ala berfirman:
فَاسْتَخَفَّ قَوْمَهُ فَأَطَاعُوهُ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ
“Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya
(dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka
adalah kaum yang fasik”. [Az-Zukhruf/43:54].
Di dalam ayat tersebut Firaun menjadi
penguasa yang kejam dikarenakan rakyatnya adalah orang-orang yang fasiq. Syaikh
Abdurrahman As Sa’di mengatakan dalam tafsirnya, “Karena kefasikan
merekalah, Allah ta’ala menjadikan Firaun adalah pemimpin mereka”[2].
Bani Israel juga pernah dipimpin oleh
raja Nebuchadnezzar yang terkenal zhalim. Di dalam kitab Ad Daa’ wa Ad Dawaa’
dikatakan;
ونظر بعض أنبياء بني إسرائيل الى ما يصنع بهم بختنصر فقال بما كسبت أيدينا سلطت علينا من لا يعرفك ولا يرحمنا
“Sebagian dari para Nabi di kalangan
Bani Israil melihat perbuatan yang dilakukan raja yang kejam, yakni
Nebuchadnezzar, dengan mengatakan,“Karena perbuatan kamilah, Engkau
telah menjadikan penguasa kami adalah orang yang tidak mengenalMu dan tidak
meyayangi kami”. (Ditakhrij oleh Ibn Abi Dunya dalam Al ‘Uqubaat, hlm. 29)[3].
وقال بختنصر لدانيال: ما الذي سلطاني على قومك ؟ قال عظم
خطيئتك وظلم قومي أنفسهم ...
Suatu kali Nebuchadnezzar pernah
berkata kepada Danial, “Mengapa aku yang memimpin kaummu sekarang?”. Danial
menjawab, “Karena besarnya keasalahanmu dan kezaliman kaumku sendiri”. (Ditakhrij oleh Ibn Abi Dunya dalam Al
‘Uqubaat, hlm. 28)[4].
وَذَكَرَ ابْنُ أَبِي الدُّنْيَا عَنِ
الْفُضَيْلِ بْنِ عِيَاضٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى بَعْضِ الْأَنْبِيَاءِ:
إِذَا عَصَانِي مَنْ يَعْرِفُنِي سَلَّطْتُ عَلَيْهِ مَنْ لَا يَعْرِفُنِي.
Ibnu Abi Ad Dunya menyebutkan dari
Fudhail bin ‘Iyadh bahwa dia berkata, “Allah ta’ala memberi wahyu kepada para
nabi, ‘Jika orang yang mengenalku durhaka padaKu, maka Aku akan menjadikan
pemimpin mereka adalah orang yang tidak mengenalKu”. (Ditakhrij oleh As Syarjiy dalam Amalihu 2/256).[5]
>> Bencana dari Kemaksiatan Masal
وَفِي سُنَنِ ابْنِ مَاجَهْ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ قَالَ: كُنْتُ عَاشِرَ عَشْرَةِ رَهْطٍ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ عِنْدَ
رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَأَقْبَلَ عَلَيْنَا
رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِوَجْهِهِ فَقَالَ: «يَا
مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ خَمْسُ خِصَالٍ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ:
مَا ظَهَرَتِ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ حَتَّى أَعْلَنُوا بِهَا إِلَّا ابْتُلُوا
بِالطَّوَاعِينِ وَالْأَوْجَاعِ الَّتِي لَمْ تَكُنْ فِي أَسْلَافِهِمُ الَّذِينَ
مَضَوْا، وَلَا نَقَصَ قَوْمٌ الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلَّا ابْتُلُوا
بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَئُونَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ، وَمَا مَنَعَ قَوْمٌ
زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلَّا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ فَلَوْلَا
الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا، وَلَا خَفَرَ قَوْمٌ الْعَهْدَ إِلَّا سَلَّطَ
اللَّهُ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ غَيْرِهِمْ فَأَخَذُوا بَعْضَ مَا فِي
أَيْدِيهِمْ، وَمَا لَمْ تَعْمَلْ أَئِمَّتُهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِي
كِتَابِهِ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ». خلاصة حكم المحدث:
سنده رواته ثقات.
Di dalam Sunan
ibnu Majah dari hadith Abdullah bin Umar bin Khattab berkata, “Aku termasuk
salah satu dari sepuluh orang-orang Muhajirin bersama Rasulullah shallallahu
‘alayhi wasallam. Lalu beliau menghadap kepada kami dan bersabda, “Wahai
orang-orang Muhajirin. Aku berlindung pada Allah jauhilah oleh kalian dari lima
perkara. Pertama, tidaklah zina tampak pada suatu kaum dan mereka
terang-terangan melakukannya, kecuali mereka akan diuji dengan penyakin tho’un
dan bermacam-macam bentuk kelaparan yang tidak pernah terjadi pada orang-orang
sebelum kalian. Kedua, tidaklah suatu kaum mengurangi
timbangan dan takaran melainkan akan diuji dengan musim paceklik, sulitnya
kehidupan dan jahatnya penguasa. Ketiga,tidaklah
suatu kaum menahan zakat mal mereka keculai hujan akan ditahan untuk mereka.
Sekiranya bukan karena hewan-hewan, niscaya mereka tidak dapat hujan. Keempat, tidaklah
suatu kaum mengingkari janji/amanah kecuali Allah ta’ala akanmenjadikan
penguasa mereka adalah musuh mereka yang bukan dari (golongan) mereka. Para pemimpin itu mengambil sebagian milik rakyatnya. Kelima, tidaklah
para pemimpin mengabaikan hukum yang ada di dalam kitabullah, kecuali Allah
akan menjadikan mereka saling bermusuhan”. (kesimpulan hukum hadith: sanadnya
dengan perawi yang tsiqoot).[6]
Dari keterangan di atas, jelaslah sikap kita yang sesungguhnya, bahwa revolusi
bukanlah solusi untuk membuat negeri menjadi lebih baik. Akan tetapi solusinya
adalah mengembalikan umat ini kepada jalan yang benar, yaitu keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah ta’ala. Bertaubat dan meninggalkan dosa-dosa. Karena Allah ta’ala berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ
بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا
كَانُوا يَكْسِبُونَ (96
Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya. (QS. Al A’raf: 96).
Kota Malang, 7 Sya’ban 1438 H/04 Mei 2017 M.
الإِسْلاَمُ يَعْلُوْ وَلاَ يُعْلَى.
“Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya.” [HR.
Ad-Daruquthni (III/ 181 no. 3564), tahqiq Syaikh ‘Adil Ahmad ‘Abdul Maujud dan
Syaikh ‘Ali Mu’awwadh, Darul Ma’rifah, th. 1422 H) dan al-Baihaqy (VI/205) dari
Shahabat ‘Aidh bin ‘Amr al-Muzany Radhiyallahu anhu. Lihat Irwaa-ul Ghalil
(V/106 no. 1268) oleh Syaikh al-Albany rahimahullah]
[3]. ابن قيم الجوزية، الجواب الكافي لمن سأل عن
الدواء الشافي أو الداء والدواء، (جدة: دار علم الفوائد)، ص. 115.
[6]. الجواب الكافي لمن سأل عن الدواء الشافي أو الداء والدواء، ابن القيم الجوزي،
ص. 45
Komentar
Posting Komentar