Pudarnya Kredibilitas InyaAllah



Tanggapan kurang baik dari sebagian orang tentang ucapan insyaAllah, bisa jadi karena kurang tahu akan ilmu dan keutamaannya atau juga bisa disebabkan pihak-pihak yang menyalahgunakan ucapan tersebut. Bahkan kami pernah mendengar ada yang mengatakan, “Saya tidak percaya dengan orang yang mengucapkan InsyaAllah”, seolah kalimat insyaAllah adalah kalimat yang memiliki nilai kredibilitas yang rendah. Padahal dahulu Rasulullah ketika didatangi orang-orang kafir dan mereka bertanya tentang tiga pertanyaan yakni; ruh, para pemuda kahfi (ashhabul kahfi) dan Dzul Qarnain, kemudian Rasulullah berkata, “Besok aku sampaikan kepada kalian jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kalian”. Namun beliau tidak menyertakan insyaAllah. Sehingga wahyu terhenti tidak turun kepada beliau selama lima belas hari, yang mana hal itu menjadi sesuatu yang sangat menyulitkan beliau dan menggoncangkan orang-orang kafir. Maka turunlah ayat ini kepada beliau sebagai sebuah jalan keluar.[1]

“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, Kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah". dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan Katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini". (Al-Kahfi: 23-24)[2]


Dahsyatnya Ucapan Istitsna’ (InsyaAllah)

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya, dalam bab Ahaadiitsul Anbiyaa';


عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ هُرْمُزَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " قَالَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ عَلَيْهِمَا السَّلاَمُ: لَأَطُوفَنَّ اللَّيْلَةَ عَلَى مِائَةِ امْرَأَةٍ، أَوْ تِسْعٍ وَتِسْعِينَ كُلُّهُنَّ، يَأْتِي بِفَارِسٍ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَقَالَ لَهُ صَاحِبُهُ: إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَلَمْ يَقُلْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَلَمْ يَحْمِلْ مِنْهُنَّ إِلَّا امْرَأَةٌ وَاحِدَةٌ، جَاءَتْ بِشِقِّ رَجُلٍ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَوْ قَالَ: إِنْ شَاءَ اللَّهُ، لَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فُرْسَانًا أَجْمَعُونَ


Dari Abu Hurairah radhiyalllahu ‘anhu, ia mengatakan: "Nabi Sulaiman bin Dawud berkata: 'Aku benar-benar akan menggiliri 100 atau 99 isteriku pada malam ini, yang masing-masing isteri akan melahirkan seorang mujahid yang berjihad di jalan Allah.' Seorang sahabatnya berkata kepadanya: katakanlah 'Insya Allah.' Tetapi Nabi Sulaiman tidak mengucapkannya, dan akhirnya tidak ada seorang pun dari mereka yang hamil kecuali satu istri dengan melahirkan separuh bayi laki-laki. Nabi bersabda: 'Seandainya dia mengucapkan insya Allah, niscaya mereka menjadi para mujahid di jalan Allah. (HR. Al-Bukhari no. 3424, kitab Ahaadiitsul Anbiyaa').


Ya’juj dan Ma’juj Keluar

            Di dalam Sunan ibnu Majah disebutkan;


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ يَأْجُوجَ، وَمَأْجُوجَ يَحْفِرُونَ كُلَّ يَوْمٍ، حَتَّى إِذَا كَادُوا يَرَوْنَ شُعَاعَ الشَّمْسِ، قَالَ الَّذِي عَلَيْهِمْ: ارْجِعُوا فَسَنَحْفِرُهُ غَدًا، فَيُعِيدُهُ اللَّهُ أَشَدَّ مَا كَانَ، حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ مُدَّتُهُمْ، وَأَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَهُمْ عَلَى النَّاسِ، حَفَرُوا، حَتَّى إِذَا كَادُوا يَرَوْنَ شُعَاعَ الشَّمْسِ، قَالَ الَّذِي عَلَيْهِمْ: ارْجِعُوا، فَسَتَحْفِرُونَهُ غَدًا، إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى، وَاسْتَثْنَوْا، فَيَعُودُونَ إِلَيْهِ، وَهُوَ كَهَيْئَتِهِ حِينَ تَرَكُوهُ، فَيَحْفِرُونَهُ وَيَخْرُجُونَ عَلَى النَّاسِ..."


Dari Abu Hurairah a berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj setiap hari melubangi tembok mereka. Hingga mereka hampir melihat cahaya matahari, berkatalah pemimpin mereka, ‘Pulanglah kalian, besok kita lubangi lagi’. Lalu Allah ta’ala mengembalikan lubang itu lebih tebal dari sebelumnya. Hingga tiba saat mereka ditakdirkan Allah ta’ala untuk keluar mengganggu manusia, mereka lubangi tembok mereka hingga mereka hampir melihat cahaya matahari, berkatalah pemimpin mereka, ‘Pulanglah kalian, besok kita lubangi lagi insyaAllahuta’ala’. Mereka mengucapkan istitsna’, esoknya mereka kembali dan lubang itu masih seperti keadaannya saat mereka tinggalkan. Mereka pun melanjukannya dan keluar untuk menyerang manusia”. (Sunan Ibnu Majah 2/1364).


Kisah Sapi Betina Bani Israil


 وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ (67) قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَا فَارِضٌ وَلَا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ فَافْعَلُوا مَا تُؤْمَرُونَ (68) قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا لَوْنُهَا قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِينَ (69) قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ إِنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ (70)} [البقرة: 57-70]


2:67. Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".

2:68. Mereka menjawab: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu".

2:69. Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya."

2:70. Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)." (QS. Al Baqoroh: 67-70)

            Mereka mengucapkan kata InsyaAllah, sehingga mereka mendapatkan sapi yang dimaksud. Ibnu Katsir mengatakan,

"لَوْلَا أَنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ قَالُوا: {وَإِنَّا إِن شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ} مَا أُعْطُوا أَبَدًا
“Sekiranya Bani Israil tidak mengucapkan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)’, mereka tidak akan mendapatkan sapi itu selamanya”. (Tafsir Ibnu Katsir 1/300).



Pemilik Kebun yang Gagal Panen

إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ (17) وَلَا يَسْتَثْنُونَ (18) فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ (19)
“Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari, dan mereka tidak menyisihkan (dengan mengucapkan InsyaAllah). Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur. (QS: Al-Qolam, 17-19)
            Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa bencana itu ditimpakan Allah karena mereka telah melanggar sumpah dan tidak mengucapkan insyaAllah.[3] 


 


Lelaki yang Kehilangan Uang dan Pakaiannya

Dikisahkan ada seorang suami hendak pergi ke pasar untuk membeli seekor keledai, seraya berkata, “Besok aku mau beli keledai”. Istrinya berkata, “Katakan InsyaAllah!”. Suaminya berkata, “Memangnya kenapa? Uang ada di kantonku, dan keledainya ada di pasar!”. Lalu sang suami pun berangkat. Di tengah jalan ia menjuampai sebuah sumur dan melihat ke dalamnya, tetiba uang yang ada di kantongnya jatuh ke dalam sumur. Lantas ia pun menanggalkan pakaiannya untuk mengambil uangnya ke dalam sumur, namun ia tidak mendapatinya. Datanglah seseorang mencuri pakaiannya. Akhirnya ia pun kembali pulang dalam keadaan tidak berpakaian. Kemudian ia mengetuk pintu, dan sang istri berkata, “Siapa?”. Suaminya menjawab, “Saya, insyaAllah”, seraya takut tertimpa sial lagi bila tidak mengucapkan insyaAllah. (At Taju Al Mukallal min Jawahir Ma’atsiri At Thiraz, Abu At Thayyib, hlm. 244).



Khabib Nurmagomedov Menang
Masih hangat dalam ingatan kita, pertarungan seni bela diri campuran atau dikenal dengan Mixed Martial Arts (MMA) di Las Vegas 2018 lalu, Khabib Nurmagomedov asal Rusia berhasil mengalahkan McGregor sang juara bertahan di ajang UFC. Dalam sambutannya, Khabib mengatakan, “InshaAllah i’ll beat your boy”, (Aku akan gebuk bocah kalian InsyaAllah...).[4]
 
****


Arti Ucapan InsyaAllah dan Hukumnya
Ucapan istitsna’ dalam kajian ilmu nahwu adalah kalimat syarat yang tersusun sebagai berikut, إِنْ (jika) adalah alat/perangkat syarat,  شَاءَ الله(Allah berkehendak) adalah kalimat syarat, dan jawaban dari syaratnya adalah agenda atau kegiatan yang kita lakukan. Misalnya, jika Allah berkehendak maka aku akan hadir di acaramu. Artinya ia menyandarkan bisa atau tidaknya kepada kehendak Allah ta’ala. Dalam hal ini ia pun harus berusaha mewujudkannya, bukan berlindung di balik ucapan tersebut karena ia tidak bisa hadir. Bila memang tidak bisa hadir ia mengatakan yang sebenarnya untuk menghindari kesan yang tidak baik pada ucapan insyaAllah di kemudian hari. 

Adapun hukum mengucapkan istitsna’ adalah sunnah/tidak wajib. Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin pernah ditanya,

السؤال: ما الأمور التي يجب تعليقها بالمشيئة، والأمور التي لا ينبغي تعليقها بالمشيئة؟
Pertanyaan; “Perkara apa saja yang wajib dikaitkan dengan masyi’ah (ucapan insyaAllah) dan yang perkata apa saja yang tidak perlu?”

Jawaban Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 


الإجابة: فأجاب بقوله: كل شيء مستقبل فإن الأفضل أن تعلقه بالمشيئة، لقول الله تعالى: {ولا تقولن لشيء إني فاعل ذلك غداً * إلا أن يشاء الله}، أما الشيء الماضي فلا يعلق بالمشيئة إلا إذا قصد بذلك التعليل.


“Segala yang perbuatan yang sifatnya akan dilakukan, lebih afdhal diucapkan kata insyaAllah, karena Allah ta’ala berfirman, “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, Kecuali (dengan menyebut): "InsyaAllah". (QS. AL Kahfi: 23). Adapun untuk sesuatu yang sudah lewat/lampau, tidak perlu diucapkan istitsna’ kecuali ia bermaksud untuk menyatakan sebab”
 

فمثلاً لو قال لك شخص: دخل شهر رمضان هذا العام ليلة الأحد إن شاء الله، فلا يحتاج أن نقول: إن شاء الله لأنه مضى وعلم، ولو قال لك قائل: لبست ثوبي إن شاء الله وهو لا بسه فلا يحسن أن يعلق بالمشيئة لأنه شيء مضى وانتهى، إلا إذا قصد التعليل أي قصد أن اللبس كان بمشيئة الله، فهذا لا بأس به. فلو قال قائل حين صلى: صليت إن شاء الله إن قصد فعل الصلاة فإن الاستثناء هنا لا ينبغي، لأنه صلى وإن قصد إن شاء الله الصلاة المقبولة فهنا يصح أن يقول: إن شاء الله، لأنه لا يعلم أقبلت أم لم تقبل 

.
“Misalnya seseorang berkata padamu, ‘Bulan Ramadhan tahun ini telah masuk bertepatan dengan hari Ahad insyaAllah’. Maka tidak perlu ia ucapkan ististna’ pada sesuatu yang sudah lalu dan sudah diketahui. Atau ada yang berkata, ‘Aku (telah) mengenakan pakaian ini insyaAllah’ padahal ia sudah mengenakannya, maka tidak pantas ia ucapkan ististna’ karena perbuatannya sudah lampau dan sudah selesai. Kecuali dia bermaksud menyatakan sebab bahwa ia mengenakan itu karena kehendak Allah ta’ala, maka ini tidak mengapa. Bila ada yang berkata, ‘Saya sudah sholat insyaAllah’. Bila ia maksudkan telah melakukan sholat, maka tidak perlu ucapan istitsna’ karena dia sudah sholat. Namun bila maksudnya adalah insyaAllah sholatnya diterima Allah ta’ala, maka ini benar. Karena ia tidak tahu apakah sholatnya itu diterima Allah ataukah tidak”.[5]


فتبين من جميع ما ذكر مشروعية قول إن شاء الله لما يراد فعله في المستقبل، ولكن ذلك ليس بواجب. وبالتالي فلا لوم في تركه


 “Jelaslah dari semua dalil tentang syariat pelafalan insyaAllah dalam melakukan sesuatu yang akan datang, namun hukumnya tidak wajib dan tidak tercela (dosa) bagi yang meninggalkannya”[6]
****


Alhamdulillah, selesai ditulis di kota Malang, 07 Syawal 1440H/12 Juni 2019, Achmad Tito Rusady ghofarollohu lahu.


[1] Disebutkan oleh Ath-Thabrani dalam Jami’ Al Bayan (15/15), An-Nuhas dalam Ma’ani Al-Qur’an (4/235), Ar-Razi dalam tafsirnya (21/109), Ibnu Katsir dalam tafsirnya (5/133) dan Ibnu Athiyah (10/386).
[2] Muhammad Al Kufi mengatakan, “Sesungguhnya kalimat itu dengan lafazh-lafazhnya adalah bagian yang diperintahkan agar diucapkan semua orang yang tidak mengucapkan istitsna’. Kalimat itu adalah kaffarah (penebus dosa) karena lupa melakukan istitsna’. Jumhur mengatakan “itu adalah do’a yang diperintahkan dengan tanpa pengkhususan”. Ada pula yang mengatakan, “Itu adalah ucapan: insya Allah yang ia lupa mengucapkan ketika bersumpah”. Dikisahkan dari Ibnu Abbas bahwa jika dia istitsna’ lalu ia ingat sekalipun setahun maka tidak melanggar sumpah jika dia bersumpah. Itu adalah pendapat Mujahid. Ini dikisahkan Isma’il bin Ishak dari Abul ‘Aliyah dalam firman Allah ta’ala: “Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa.” Ia berkata, “Melakukan istitsna’ jika ingat. Al Hasan bependapat, “Selama masih dalam majelis zikir itu”. Ibnu Abbas berkata, “Sekalipun telah dua tahun”. (Disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2008, hlm. 973-974.)
[3] Abdurrahman ibn Muhammad ibn Abdurrahman ibn Ishaq Alu Syaikh, Lubabu at-Tafsir min Ibn Katsir, (Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i, 2007), hlm. 255.
[4] Berita tersebut kami sampaikan untuk menguatkan fadhilah InsyaAllah, meski ajang MMA tidak kami setujui karena lebih besar madharatnya dibanding manfaatnya seperti banyak terbukanya aurat, bercampur baur lelaki dan perempuan, memukul wajah, dan lain-lain dari pelanggaran syari’at. Ya’juj dan Ma’juj, juga Bani Israil seperti yang dijelaskan di atas, tetap mendapatkan pertolongan dari Allah ta’ala dari ucapan istitsna’ mereka, meski mereka adalah makhluk yang keji dan melakukan pelanggaran syari’at.

Komentar