Jalan Orang-orang Beriman Selepas Ramadhan


Wild honey #photography #food_styling
Suatu hari di hari raya idulftiri, amirul mu’minin Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah ta’ala berkhutbah di hadapan khalayak; 

"أيها الناس إنكم صمتم ثلاثين يوما و قمتم ثلاثين يوما و خرجتم اليوم تطلبون من الله أن يتقبل منكم."
“Wahai sekalian manusia, kalian telah berpuasa 30 hari, dan mendirikan sholat selama 30 hari. Sakarang saatnya kalian minta dan memohon kepada Allah ta’ala agar semua amalan itu diterima”[1].

            Dari khutbah tersebut, ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik;

Pertama, mengerjakan amal shalih itu bukanlah terletak pada selesainya, akan tetapi terletak pada apakah diterima ataukah tidak amalan itu di sisi Allah . Artinya, dalam beramal, fokus kita bukan menyelesaikan amalan, akan tetapi berusaha menjaga amalan itu agar diterima di sisi Allah . Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata;

كونوا لقبول العمل أشدّ اهتماما منكم بالعمل ألم تسمعوا الله عزوجل يقول "إنما يتقبل الله من المتقين" (المائدة : 27)
“Jadilah kalian terhadap amal-amal kalian itu lebih memperhatikan amal itu diterima, dari pada menyelesaikan amal itu sendiri, apakah kalian tidak mendengar Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah hanya menerima amal orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al Maidah: 27).[2]

Yakni menjaga amalan itu untuk tetap berada dalam tuntunan Rasulullah ﷺ dan tetap terjaga keikhlasannya mengaharap pahala dari sisi Allah ﷻ. Sebagaimana Allah berfirman;

{الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا} [الملك: 2]
“Dialah Yang Telah Menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian siapa di antara kalian yang terbaik amalnya”. (QS. Al Mulk: 2). Fudhal bin ‘Iyad menjelaskan makna ‘ahasnu ‘amala yaitu yang paling ikhlas dan yang paling sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ.[3]

Kedua, merasa cemas kalau amalan tertolak, termasuk di antara ciri-ciri orang beriman, yang Allah ta’ala sebutkan di dalam Al Qur’an surat Al Mukminun ayat ke 60-61;

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (60) أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ (61)
“dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka (60 mereka itu bersegera untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. (QS: Al-Mukminun 60-61). 

Saat ayat tersebut dibacakan oleh Rasulullah , Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya, 

أهم الذين يَسْرِقون أو يزنون أو يشرَبون الخمر؟
“Apakah mereka adalah orang-orang yang mencuri, berzina dan minum minuman khamr?”. 

قال : "لا يا ابنت الصديق ولكنهم يصلون و يصومون و يتصدقون و يخافون أن لا يُتَقبَّل منهم. ألئك يسارعون في الخيرات.
Rasulullah menjawab, “Tidak wahai puteri As Shiddiq, justru mereka adalah orang-orang yang sholat, berpuasa, dan bersedekah. Akan tetapi mereka takut kalau amal mereka itu tidak diterima di sisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang bersegera kepada kebaikan.[4] Abdul Aziz bin Ar Ruwwad seorang tabi’in berkata, 

أدركتهم يجتهدون في العمل الصالح فإذا فعلوه وقع عليهم الهمّ أيُقْبَل منهم أم لا؟
“Aku melihat mereka bersungguh-sungguh dalam beramal, namun setelah mereka mengerjakannya mereka dilanda rasa harap yang dibalut dengan rasa cemas, apakah amalnya diterima ataukah tidak”.[5]

            Merasa cemas tidak sama dengan putus asa. Cemas di sini adalah lawan dari sifat ujub (bangga diri) terhadap amal-amal shalihnya. Ujub terhadap amal-amal shalih bisa membinasakan seseorang. Kita sepakat, bahwa bangga diri atau puas diri dalam berbisnis akan membuat bisnisnya tidak berkembang, bahkan akan kalah dalam persaingan, lama-lama bisa gulung tikar. Begitu pula sifat orang beriman, rasa cemas kalau-kalau amalannya tidak diterima, dapat menutup rapat-rapat pintu ujub terhadap amal shalihnya.

Ketiga, berharap agar amalan diterima di sisi Allah adalah jalan orang-orang beriman. Ma’la bin Al Fadl berkata;

كانوا يدعون الله ستة أشهر أن يبلِّغَهم الله شهر رمضان ثم يدعون الله ستة أشهر أن يَتَقَبَّل منهم.
“Mereka senantiasa berdo’a kepada Allah selama enam bulan sebelum Ramadhan, agar mereka dipertemukan dengan bulan Ramadhan, dan enam bulan setelah Ramadhan mereka senantiasa berdo’a agar amal ibadah yang dilakukan di bulan Ramadhan di diterima di sisi Allah ”.[6]
 
            Mengapa mereka sedemikian bersungguh-sungguh berdo’a agar amalan selama bulan Ramadhan diterima di sisi Allah ta’ala? Hal ini tidak mengherankan jika kita bisa merasakan makna cinta. Dalam kehidupan rumah tangga, antara suami dan istri yang saling mencintai karena Allah ta’ala, cinta mereka terbingkai dalam prinsip, “Terimalah aku apa adanya”. Dalam melamar pekerjaan, atau melamar seorang gadis shalihah, tidak sama antara yang datang dengan harapan dengan yang datang hanya karena coba-coba. Dengan demikian, rasa cinta dan harap itu berbanding lurus, semakin cinta menguat, semakin menguat pula harapan.

Sejenak, mari kita mengingat nabiyullah Ibrahim ‘alayhissalam bersama putranya, Ismail, saat diperintah oleh Allah untuk membangun pondasi-pondasi Ka’bah. Allah berfirman,
{وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (127)} [البقرة: 127]
“Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan pondasi-pondasi Ka’bah bersama Islmail berkata, “Ya Tuhan kami terimalah amal kami sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al Baqoroh: 127). Mereka  masih berdo’a, “Ya Allah terimalah amal kami”. Bahkan diceritkan, setiap kali Nabi Ibrahim dan Ismail meletakkan batu-batu Ka’bah, satu persatu mereka iringi dengan do’a “Ya Allah terimalah amal kami”.[7] Syaikh Abdul Aziz bin Baz suatu kali pernah menjelaskan tafsir ayat di atas, dan beliau tehenti sejenak karena menangis, lalu beliau berkata, “Amalan khusus, untuk hamba khusus, di tempat yang khusus, namun demikian beliau masih memohon diterima amalannya”[8]

Keempat, tanda amal shalih diterima di sisi Allah, adalah berbuah amal shalih lagi setelahnya. Ibnu Rajab dalam kitab Lathaiful Ma’arif berkata;

قال رسوالله: "من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر" رواه مسلم. فإن الله إذا تقبل عمل عبد وفّقه لعمل صالح بعده. كما قال بعضهم ثواب الحسنات الحسنات بعدها. فمن عمل حسنة ثم أتبعها بعدها بحسنة كان ذلك علامة على قَبول الحسنة الأولى. كما أنّ من عمل حسنة ثم أتبعها بسيئة كان ذلك علامة رد الحسنة و عدم قَبولها.

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal ganjarannya seperti puasa selama setahun” (HR. Muslim).  “Sesungguhnya jika Allah menerima amal ibadah seorang hamba, Allah akan memberinya taufiq untuk beramal sholeh setelahnya. Sebagaimana perkataan sebagian ulama, “Ganjaran kebaikan adalah kebaikan setelahnya. Siapa saja yang berbuat baik kemudian berbuat baik lagi setelahnya, itu adalah tanda diterimanya amal. Dan siapa saja yang berbuat kebaikan lalu berbuat buruk setelahnya maka itu adalah tanda bahwa kebaikannya tidak diterima”.[9]  

            Dengan demikian, tugas kita setelah Ramadhan ini yang paling utama adalah banyak-banyak berdo’a kepada Allah ta’ala agar amal kita selama bulan Ramadhan diterima di sisi Allah ta’ala, karena do’a tersebut adalah jalan, sifat dan karakter orang-orang beriman, yang lahir dari keseimbangan antara rasa harap dan cemas. Semoga bermanfaat.

تقبل الله منا ومنكم
“Semoga Allah menerima amal Ramadhan kita”

Achmad Tito Rusady, Ngadiluwih, 2 Syawal 1441 H.


[1]  ابن رجب، بغية الإنسان في وظائف رمضان، (91)
[2]  لطائف المعارف لابن رجب (1 / 209)
[3] تزكية النفوس؛ أحمد فريد، الناشر: دار العقيدة للتراث – الإسكندرية، سنة النشر: 1413 هـ - 1993 م، ص. 6
[4]  لراويعائشة أم المؤمنين | المحدثالألباني | المصدرصحيح الترمذي، الصفحة أو الرقم: 3175 | خلاصة حكم المحدثصحيح.
[5]  لطائف المعارف لابن رجب (1 / 209)
[6] لطائف المعارف لابن رجب (1 / 148)
[7]  تفسير الطبري، جامع البيان ت شاكر (3 / 68)
[8] Syaikh Abu Ishaq Al Hauni via status facebook
[9]  لطائف المعارف لابن رجب (1 / 221)

Komentar