Suatu hari di hari raya idulftiri, amirul
mu’minin Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah ta’ala berkhutbah di hadapan
khalayak;
"أيها
الناس إنكم صمتم ثلاثين يوما و قمتم ثلاثين يوما و خرجتم اليوم تطلبون من الله أن يتقبل
منكم."
“Wahai sekalian manusia, kalian telah berpuasa 30 hari, dan
mendirikan sholat selama 30 hari. Sakarang saatnya kalian minta dan memohon
kepada Allah ta’ala agar semua amalan itu diterima”[1].
Dari khutbah tersebut, ada beberapa pelajaran yang bisa
dipetik;
Pertama, mengerjakan amal shalih itu bukanlah terletak pada selesainya, akan tetapi
terletak pada apakah diterima ataukah tidak amalan itu di sisi Allah ﷻ. Artinya, dalam beramal, fokus kita bukan
menyelesaikan amalan, akan tetapi berusaha menjaga amalan itu agar diterima di
sisi Allah ﷻ. Sahabat
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu berkata;
كونوا
لقبول العمل أشدّ اهتماما
منكم بالعمل ألم تسمعوا الله عزوجل يقول "إنما يتقبل الله من المتقين"
(المائدة : 27)
“Jadilah kalian
terhadap amal-amal kalian itu lebih memperhatikan amal itu diterima, dari pada
menyelesaikan amal itu sendiri, apakah kalian tidak mendengar Allah ta’ala
berfirman, “Sesungguhnya Allah hanya menerima amal orang-orang yang bertaqwa”.
(QS. Al Maidah: 27).[2]
Yakni menjaga amalan itu untuk tetap
berada dalam tuntunan Rasulullah ﷺ dan tetap terjaga keikhlasannya mengaharap
pahala dari sisi Allah ﷻ. Sebagaimana Allah ﷻ
berfirman;
{الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ
أَحْسَنُ عَمَلًا} [الملك: 2]
“Dialah Yang Telah
Menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian siapa di antara kalian
yang terbaik amalnya”. (QS. Al Mulk: 2). Fudhal bin ‘Iyad
menjelaskan makna ‘ahasnu ‘amala yaitu yang paling ikhlas dan yang
paling sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ.[3]
Kedua, merasa cemas kalau amalan tertolak, termasuk di antara ciri-ciri orang
beriman, yang Allah ta’ala sebutkan di dalam Al Qur’an surat Al Mukminun ayat
ke 60-61;
وَالَّذِينَ
يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
(60) أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ (61)
“dan
orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang
takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan
mereka (60 mereka itu bersegera untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang
segera memperolehnya. (QS:
Al-Mukminun 60-61).
Saat ayat tersebut dibacakan oleh Rasulullah ﷺ, Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya,
أهم
الذين يَسْرِقون أو يزنون أو يشرَبون الخمر؟
“Apakah
mereka adalah orang-orang yang mencuri, berzina dan minum minuman khamr?”.
قال
: "لا يا ابنت الصديق ولكنهم يصلون و يصومون و يتصدقون و يخافون أن لا
يُتَقبَّل منهم. ألئك يسارعون في الخيرات.
Rasulullah
ﷺ menjawab, “Tidak wahai puteri As Shiddiq, justru mereka adalah
orang-orang yang sholat, berpuasa, dan bersedekah. Akan tetapi mereka takut
kalau amal mereka itu tidak diterima di sisi Allah. Mereka itulah orang-orang
yang bersegera kepada kebaikan.[4]
Abdul Aziz bin Ar Ruwwad seorang tabi’in berkata,
أدركتهم
يجتهدون في العمل الصالح فإذا فعلوه وقع عليهم الهمّ أيُقْبَل منهم أم لا؟
“Aku
melihat mereka bersungguh-sungguh dalam beramal, namun setelah mereka
mengerjakannya mereka dilanda rasa harap yang dibalut dengan rasa cemas, apakah
amalnya diterima ataukah tidak”.[5]
Merasa cemas tidak sama dengan putus
asa. Cemas di sini adalah lawan dari sifat ujub (bangga diri) terhadap
amal-amal shalihnya. Ujub terhadap amal-amal shalih bisa membinasakan seseorang.
Kita sepakat, bahwa bangga diri atau puas diri dalam berbisnis akan membuat
bisnisnya tidak berkembang, bahkan akan kalah dalam persaingan, lama-lama bisa
gulung tikar. Begitu pula sifat orang beriman, rasa cemas kalau-kalau amalannya
tidak diterima, dapat menutup rapat-rapat pintu ujub terhadap amal shalihnya.
Ketiga, berharap agar amalan diterima di sisi Allah
adalah jalan orang-orang beriman. Ma’la bin Al Fadl
berkata;
كانوا
يدعون الله ستة أشهر أن يبلِّغَهم الله شهر رمضان ثم يدعون الله ستة أشهر أن
يَتَقَبَّل منهم.
“Mereka
senantiasa berdo’a kepada Allah ﷻ selama
enam bulan sebelum Ramadhan, agar mereka dipertemukan dengan bulan Ramadhan,
dan enam bulan setelah Ramadhan mereka senantiasa berdo’a agar amal ibadah yang
dilakukan di bulan Ramadhan di diterima di sisi Allah ﷻ”.[6]
Mengapa mereka sedemikian
bersungguh-sungguh berdo’a agar amalan selama bulan Ramadhan diterima di sisi
Allah ta’ala? Hal ini tidak mengherankan jika kita bisa merasakan makna cinta.
Dalam kehidupan rumah tangga, antara suami dan istri yang saling mencintai
karena Allah ta’ala, cinta mereka terbingkai dalam prinsip, “Terimalah aku apa
adanya”. Dalam melamar pekerjaan, atau melamar seorang gadis shalihah, tidak
sama antara yang datang dengan harapan dengan yang datang hanya karena
coba-coba. Dengan demikian, rasa cinta dan harap itu berbanding lurus, semakin
cinta menguat, semakin menguat pula harapan.
Sejenak, mari kita mengingat nabiyullah
Ibrahim ‘alayhissalam bersama putranya, Ismail, saat diperintah oleh Allah ﷻ untuk membangun pondasi-pondasi Ka’bah. Allah ﷻ berfirman,
{وَإِذْ
يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا
تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (127)} [البقرة: 127]
“Dan
ingatlah ketika Ibrahim meninggikan pondasi-pondasi Ka’bah bersama Islmail
berkata, “Ya Tuhan kami terimalah amal kami sesungguhnya Engkau Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al
Baqoroh: 127). Mereka masih berdo’a, “Ya Allah
terimalah amal kami”. Bahkan diceritkan,
setiap
kali Nabi Ibrahim dan Ismail meletakkan batu-batu Ka’bah, satu persatu mereka iringi dengan do’a “Ya Allah terimalah amal kami”.[7] Syaikh Abdul Aziz bin Baz suatu kali pernah
menjelaskan tafsir ayat di atas, dan beliau tehenti sejenak karena menangis,
lalu beliau berkata, “Amalan khusus, untuk hamba khusus, di tempat yang khusus,
namun demikian beliau masih memohon diterima amalannya”[8]
Keempat, tanda amal shalih diterima di sisi Allah, adalah
berbuah amal shalih lagi setelahnya. Ibnu Rajab dalam kitab Lathaiful Ma’arif
berkata;
قال
رسوالله: "من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر" رواه
مسلم. فإن الله إذا تقبل عمل عبد وفّقه لعمل صالح بعده. كما قال بعضهم ثواب
الحسنات الحسنات بعدها. فمن عمل حسنة ثم أتبعها بعدها بحسنة كان ذلك علامة على
قَبول الحسنة الأولى. كما أنّ من عمل حسنة ثم أتبعها بسيئة كان ذلك علامة رد
الحسنة و عدم قَبولها.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian berpuasa enam
hari di bulan Syawal ganjarannya seperti puasa selama setahun” (HR. Muslim). “Sesungguhnya jika Allah menerima amal ibadah seorang
hamba, Allah akan memberinya taufiq untuk beramal sholeh setelahnya.
Sebagaimana perkataan sebagian ulama, “Ganjaran kebaikan adalah kebaikan
setelahnya. Siapa saja yang berbuat baik kemudian berbuat baik lagi setelahnya,
itu adalah tanda diterimanya amal. Dan siapa saja yang berbuat kebaikan lalu
berbuat buruk setelahnya maka itu adalah tanda bahwa kebaikannya tidak
diterima”.[9]
Dengan demikian, tugas kita setelah
Ramadhan ini yang paling utama adalah banyak-banyak berdo’a kepada Allah ta’ala
agar amal kita selama bulan Ramadhan diterima di sisi Allah ta’ala, karena do’a
tersebut adalah jalan, sifat dan karakter orang-orang beriman, yang lahir dari
keseimbangan antara rasa harap dan cemas. Semoga bermanfaat.
تقبل
الله منا ومنكم
“Semoga Allah menerima amal Ramadhan kita”
Achmad Tito Rusady, Ngadiluwih, 2 Syawal 1441 H.
[3] تزكية النفوس؛ أحمد فريد، الناشر: دار العقيدة للتراث –
الإسكندرية، سنة النشر: 1413 هـ - 1993 م، ص. 6
[4] لراوي : عائشة
أم المؤمنين | المحدث
: الألباني | المصدر
: صحيح الترمذي، الصفحة أو الرقم: 3175 | خلاصة
حكم المحدث : صحيح.
[6] لطائف المعارف لابن رجب (1 / 148)
[8] Syaikh Abu Ishaq Al Hauni
via status facebook
Komentar
Posting Komentar