Saya dan Habbatussauda’



2012. Waktu itu bulan Ramadhan. Ayah saya punya 20 ekor ayam kampung, semua sehat dan fisiknya bagus, masyaAllah. Sampai suatu hari ayam mati tiba-tiba, tanpa tanda-tanda sakit. Setiap hari ada yang mati dalam jumlah yang berbeda-beda. Kadang satu, kadang dua, kadang sekaligus empat, kematian yang misterius. Saya melihat ada bintik-bintik merah di kedua kaki ayam yang mati. Entah penyakit apa itu, saya browsing di internet belum menemukan jawabannya. Sampai akhirnya ayam ayah saya itu tinggal sepasang. Sepasang ayam ini mulai ada tanda-tanda tidak beres. Fisiknya lemah. Ketika diberi makan pun paruhnya tidak sampai ke makanan, jadi harus disuapin. Sampai akhirnya saya suap keduanya dengan dua atau satu pil habbatussauda’ –yang serbuk-, dan alhamdulillah, biidznillah, keduanya sembuh total sampai beranak pinak. Kisahnya belum selesai. Tetanga saya terlihat sedang bakar-bakar sampah di kandang ayamnya. Saya bertanya, “Ngapain Om?”. “Ini ayamku mati mendadak”. Ayam tetangga saya ini ayam Bangkok. Tahu kan mahalnya ayam Bangkok. Ternyata tetangga saya bakar-bakar sampah untuk membuat asap, dengan harapan asapnya mengusir penyakit. Ceritalah saya perihal ayam ayah saya yang berkasus sama. Saya beri beberapa butir habbatussauda’ dengan pesan penting, “Om, ini bukan obat ayam ya. Ini obat manusia. Saya biasa minum”. Beberapa hari kemudian tetangga saya cerita, ayamnya semua sehat. Walhamdulillah. Ternyata tetangga saya juga membelinya dan mengonsumsinya. Sampai-sampai anaknya yang paling kecil pernah main dengan adik saya di rumah, dan berkata, “Aku puasa beberapa hari ini kuat, habis minum obat ayam”, ungkapnya ke adik saya dengan polosnya, tanpa tawa, tanpa canda. Saya yang menahan tawa dari dalam kamar.

2012. Seorang ibu rumah tangga, tetangga agak jauh datang ke rumah, membantu ibu memasakkan sesuatu. Tetiba dia melihat habbatussauda’ dan bertanya, “Ini obat apa?”. Saya jelaskan dengan bahasa yang mudah, karena dia cukup awam. “Ini jamu habbatussauda’, obat semua penyakit”. Saya beri ibu tersebut 2 butir. Esok harinya dia datang dan untuk bertanya-tanya di mana bisa membeli jamu itu? “Lho kenapa?” tanya saya penasaran. “Di badan kok enak banget”, terangnya.

2012. Sepasang kucing kecil saya sakit. Air liurnya menetes di mana-mana dan baunya tidak sedap. Kucing saya biasa diberi makan dengan cara; ikan setengah matang dicampur dengan nasi, diberi garam sedikit. Saat itu saya buka pil habbatussauda’, lalu saya taburkan dan dicampurkan dengan makanannya. Tidak berselang lama. Seingat saya hitungan hari yang singkat, bukan hitungan pekan. Sepasang kucing saya sembuh, tidak pernah meteskan air liur lagi.

2014. Kami mengadakan dauroh (pelatihan) bahasa Arab selama 20 hari di kompleks Masjid Jami’ Al Umm. Waktu itu bulan Ramadhan. Suatu hari waktu persiapan sahur, beberapa santri melapor ada salah satu peserta tidak bisa bangun dari tidurnya, badannya kaku. Bergegas saya mengeceknya, ternyata benar. Dia –remaja- hanya terbaring di tempat tidur, kakinya tidak bisa ditekuk, sangat keras, layaknya kayu yang kuat. Dia masih bisa berkomunikasi. Dia menyampaikan bahwa dulu pernah mengalami demikian selama 3 bulan, berbaring di atas tempat tidur. Beberapa dokter menyatakan tidak ada penyakit apa pun. Aneh, dan jika demikian tentu hal ini berkaitan dengan non-medis. Setelah subuh, ustadz Arifuddin –Kaprodi Program Diplom Ruqyah Syar’iyyah Ma’had Ali Al Aimmah- mendatanginya. “Tolong ambilkan habbatussauda’ yang cair ya”, pinta beliau kepada saya. Saya memperhatikan bagaimana beliau menerapinya dengan habbatussauda’ padahal remaja ini tetap memilih puasa. Ternyata habbatussauda’ itu dioleskan di kakinya bagian belakang lutut. Sambil diajak dialog lembut dan bersahabat, sehingga remaja ini menceritakan perihalnya pernah pacaran, kemudian putus, pacarnya tidak terima, dan diduga kuat mengirim sihir kepadanya. Sembari diarahkan untuk taubat dan menyesali perbuatan pacaran dan olesan habbatussauda’, masyaAllah, kakinya bisa ditekuk kembali dan bisa berjalan lagi. Saya sangat bersyukur bisa langsung menyaksikan keajabian ini. Walhamdulillah.

2019. Saya pergi ke rumah sakit umum untuk memenuhi persyaratan NIDN (Nomor Induk Dosen Nasional). Sampai akhirnya tahap tes urine, apakah ada unsur narkoba ataukah tidak. Petugas bertanya, “Apa Anda pernah minum obat selama sepekan ini?”. Saya jawab, “Tidak. Cuma minum habbatussauda’ tadi malam lima butir”. Petugas berkata, “Sebaiknya ditunda dulu Mas. Karena takutnya nanti hasilnya positif”. Petugas itu menjelaskan pada saya bahwa tes urine harus dalam keadaan steril selama sepekan, tidak mengonsumi obat atau jamu atau juga herbal. Saya pertimbangkan waktu dan kesibukan, mumpung ada kesempatan dan saya yakin habbatussauda’ tidak sama dengan obat-obat lainnya, saya tetap melanjutkan tes. “Ya nggak apa-apa sih tetap tes, cuma kalau nanti hasilnya positif, masnya tes lagi nggak apa-apa?” tanya petugas memastikan. Saya jawab, “Ya, nggak apa-apa, bismillah”. Sekali tes narkoba seingat saya harus bayar Rp.270.000,-. Setelah mengunggu hasil tiga hari kemudian, saya dinyatakan negatif. Walhamdulillah.

2020. Saat virus C19 merajalela, saya mengalami batuk cukup lama, semenjak lockdown belum diberlakukan. Dari batuk berdahak sampai batuk kering. Sebelum itu saya minum seperti biasa, lima butir, kadang 10 jika demam (5 butir pagi dan 5 malam). Kali ini saya minum dengan cara berbeda. Saya minum minyaknya, atau saya campurkan dengan air dan saya minum, dengan anggapan minyak habbatussauda’ akan menempel di tenggorakan saya, atas ijin Allah ta’ala akan mematikan virus ataupun bakteri di dalamnya. Walhamdulillah, sembuh. 

Saya menulis pengalaman ini bukan untuk jualan. Karena saya tidak jualan. Bukan juga pesanan penjual habbatussauda’. Tetapi saya menulis ini karena saya tergugah, mengapa saya sangat yakin dengan resep dokter atau apoteker, sedangkan resep dari Rasulullah tidak seyakin itu? Seharusnya kan lebih yakin lagi, sesuai dengan sabda beliau ,

إِنَّ هَذِهِ الحَبَّةَ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ، إِلَّا مِنَ السَّام

”Sesungguhnya pada habbatussauda’ terdapat obat untuk segala macam penyakit, kecuali kematian” [Muttafaqun ‘alaihi HR. Bukhari no. 5687, Muslim no. 2215]
___________
Achmad Tito Rusady, 11 Ramadhan 1441H/06 Mei 2020 M, ditulis di kampus Al Maahira IIBS Malang-Jawa Timur-Indonesia

Komentar